BAB I
PENDAHULUAN
Allah
mengutus nabi Muhammad SAW untuk
membawa sariat islam didalamnya terdapat hukum syara’ . hukum merupakan buah
inti dari ilmu fikih dan uhsul fiqih . hukum syara’ adalah ketetapan Allah yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan orang-orang mukalaf .
Didalam
makalah ini kami akan menjelaskan hukum syara’ dan seluk beluknya yang
berkaitan dengan hukum syara’a adalah hukum ta’lifi dan kukum wadhi serta
macam-macamnya
Baca Juga Makalah PAI Lengkap By Akhmad Khaerudin
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM SYARA’
1.
Pengertian Hukum syara’
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan
ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku
serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
2.
Pembagian
Hukum Syara’
Hukum syara
terbagi dua macam:
a.
Hukum
taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara
berbuat atau meninggalkan.
b.
Hukum
wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu sebab,
syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.
3.
Bentuk-Bentuk
Hukum Syara
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
a.
Ijab,
adalah tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh
ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat
An-Nur: 56 yang artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat….”
b.
Nadb
adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat
memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya.
Misalnya: dalam surah al-Baqarah ayat 282 yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”[2]
Kalimat maka
tuliskanlah olehmu”, dalam ayat itu pada dasarnya mengandung perintah, tetapi
terdapat indikasi yang memalingkan perintah itu kepada Nadb yang terdapat dalam
kelanjutan dari ayat tersebut (al-Baqarah: 283), yang artinya: “Akan tetapi,
apabila sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya
itu menunaikan amanatnya….”
Tuntutan
perintah dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi yang membawa perubahan
ini adalah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika ada sikap saling
mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah
seperti disebut dalam Nadb.
c.
Ibahah
adalah khitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan antara berbuat
atau tidak berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat adai khitab Allah ini
disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.
Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 2, yang artinya: “Apabila kamu
telah selesai melaksanakan ibadah haji bolehlah kamu berburu”.
d.
Karanah,adalah
tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan
melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan
perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak tidak dikenai hukuman.
Akibat dari tuntutan ini disebut juga karanah, misalnya hadis Nabi Muhammad
saw. yang artinya: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”
(HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
e.
Tahrim
adalah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut
itu disebut dengan haram. Contoh memakan bangkai dan sebagainya. Misalnya,
firman Allah dalam surah Al-An’am: 151, tentang larangan membunuh. Yang
artinya: “Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah…..”
Khitab ayat ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang disebut dengan haram.
Khitab ayat ini disebut dengan tahrim, akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan, yaitu membunuh jiwa seseorang disebut dengan haram.
4.
Macam-Macam
Hukum Wadh’i
a.
Sebab,
adalah suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Misalnya
dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat
sesudah matahari tergelincir.”Pada ayat tersebut, tergelincir matahari
dijadikan sebab wajibnya shalat.
b.
Syarat, adalah sesuatu yang berada diluar
hukum syara’tetapi keberadaan hukum syara bergantung kepadanya. Misalnya firman
Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
Ayat
tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian
atas dirinya.”
c.
Mani’
(penghalang), adalah sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau
tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “Pembunuh tidak memdapat
waris.”
Hadis
tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan
warisan.
d.
Shahih,
adalah suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara, yaitu terpenuhnya
sebab syarat dan tidak ada mani.
e.
Bathil,
adalah terlepasnya hukum syara dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak ada
akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya: memperjualbelikan minuman keras.
Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam
pandangan syara’.
B. OBJEK HUKUM (MAHKUM
BIH)
Objek hukum atau mahkum nih yaitu
perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum syar’i.[3]
Adapun syarat-syarat untuk suatu
perbuatan sebagai objek hukum menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai
berikut:
a.
Perbuatan
itu sah dan jelas adanya; tidak mungkin memberatkan seseorang melakukan sesuatu
yang tidak mungkin dilakukan seperti mencat langit.
b.
Perbuatan
itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh orang yang akan mengerjakan serta
dapat dibedakan dengan perbuatan lainnya.
c.
Perbuatan
itu sesuat yang mungkin dilakukan oleh mukallaf dan berada dalam kemampuannya
untuk melakukannya.
C. SUBJEK HUKUM (MAHKUM
‘ALAIH)
Subjek hukum atau pelaku hukum
ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala tingkah
lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas
subjek hukum, adalah sebagai berikut:
a.
Ia
memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang menyatakan bahwa ia terkena
tuntutan dari Allah.
b.
Ia
telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
c.
Ahliyah
al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara sempurna, yaitu manusia yang
telah mencapai usia dewasa.
D. PEMBUAT HUKUM
(HAKIM)
Pembuat hukum (syar’i) dalam
pengertian Islam adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan
Dia pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam
hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan hidup di
akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah, maupun
hubungan manusia dengan sesamanya dan alam sekitarnya.
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa pembuat hukum (syar’i) satu-satunya bagi umat Islam adalah Allah.
Sebagaimana ditegaskan firman Allah dalam surat al-An’am: 57, Yusuf: 40 dan 67
yang artinya: “Sesungguhnya tidak ada hukum kecuali bagi Allah.”
E. MAHKUM FIH
Yang dimaksud
dengan Mahkum Fih adalah perbuatan yang dihukumkan ( perbuatan hukum ) . Mahkum
Fih dibagi menjadi lima :
a.
Wajib
b.
Mandub ( Sunah )
c.
Kharam
d.
Makruh
e.
Mubah
F. AZIMAH DAN
RUKHSAH
Hukum bila dilihat dari sudut berat ringanya atau luas
sempit daerah berlakunya maka dapat dibagi dua yaitu :
a.
Azimah ialah peraturan agama yang pokok dan berlaku umum sejak dari
semulanya artinya berlaku umum ialah berlaku bagi seluruh mukalap dan dalam semua
keadaan dan waktu .
Contoh : Semua bangkai kharam dimakan oleh semua orang
dan didalam keadaan bagaimanapun juga .
b.
Rukhsah ialah peraturan tambahan yang diajalankan berhubung adanya hal-hal
yang memberatkan sebagai pengecualian dari peraturan-peraturan pokok atau umum.
Contoh :
Dalam keadaan terpaksa bangkai tersebut boleh dimakan asal tidak bermaksud
menentang dan tidak berlebih-lebihan
Baca Juga Makalah PAI Lengkap By Akhmad Khaerudin
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Hukum
syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah
laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat
yang beragama Islam.
2.
Hukum
syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
3.
Bentuk-bentuk
hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam,
yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
4.
Hukum
wadh’i terbagi menjadi 5 macam yaitu sebab, syarat, mani, shihah dan bathil.
5.
Objek
hukum atau mahkum nih yaitu perbuatan mukallaf yang bersangkutan dengan hukum
syar’i
6.
Mahkum
‘alaih atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk
berbuat, dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan
Allah.
7.
Mahkum Fih dibagi menjadi lima yaitu : Wajib, Mandub ( Sunah ) Kharam, Makruh,
Mubah.
8.
Hukum dilihat dari sudut berat ringanya atau luas sempitnya ada dua yaitu : Azimah dan Rukhsah
9.
Pembuat
hukum (syar’i) dalam pengertian Islam adalah Allah
DAFTAR PUSTAKA
Baca Juga Makalah PAI Lengkap By Akhmad Khaerudin
1.
Syarifuddin,
Amir. 1987. Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia
2.
Syafi’i,
Rachmat. 2007. Ilmu ushul Fiqih .
Bandung : Pustaka Setia
3.
Khala, Abdul
Wahab. 1995. Ilmu Ishul Fiqih.
Jakarta : Rineka Cipta
0 Kommentare on Makalah Hukum Fiqih Islam :
Silahkan berkomentar yang baik dan Jangan Spam !