a. Pengertian hadits
adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada tiga fungsi sunnah atau hadis dalam ajaranIslam.
Perbedaan alqur’an dan hadits
Artinya:
“Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu’ maupun hadis mauquf.”
Kata-kata “hadis yang didengar olehnya” mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata “yang didengar” karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh.
Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati’ (terputus) persambungannya.”
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, “Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya”.
Definisi ini menjadikan hadis munqati’ berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan “Salah seorang rawinya” defnisi ini tidak mencakup hadis mu’dal; dengan kata-kata, “Sebelum sahabat” definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata “Tidak pada awal sanad” definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir.
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
“Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.”
“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya:
“Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
Artinya :
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
Artinya :
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.
b. Fungsi hadits
Ada tiga fungsi sunnah atau hadis dalam ajaranIslam.
- Pertama, sebagai penjelas terhadap al-Qur’an. Kalau ada orang yang hanya menggunakan al-Qur’an dan tidak mau menggunakan sunnah, maka dari mana ia mengetahui bahwa salat zhuhur itu empat rakaat. Ternyata tidak ada keterangan dalam al-Qur’an mengenai salat zhuhur empat raka’at, thawaf tujuh kali dan seterusnya. Syarat ibadah kita diterima oleh Allah SWT ada dua, yang tercantum dalam dua kalimah syahadah. Yang pertama harus ada keikhlasan karena Allah sebagaimana dituangkan dalam syahadat tauhid, yakni "Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah".Yang kedua, syaratnya adalah harus mengikuti tuntunan Rasulullah yang dituangkan dalam syahadat rasul, yakni "Saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah". Oleh karena itu, tidak mungkin seorang muslim meninggalkan hadis.
- Kedua, hadis adalah sebagai pendukung terhadap ketetapan dalam al-Qur’an. Sebagai contoh al-Qur’an secara tegas mengharamkan riba. Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Lalu datanglah hadis-hadis yang juga mengharamkan riba.
- Ketiga, hadis sebagai sumber hukum Islam. Hadis adalah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Banyak hadis menjelaskan sesuatu yang tidak disebut dalam al-Qur’an. Salah satunya adalah tentang dihalalkannya memakan daging binatang yang disebut dlabb. Dulu banyak yang menerjemahkan dlabb dengan biawak, padahal ternyata jauh berbeda dengan biawak karena di Indonesia tidak ada. Penetapan halalnya binatang dlabb ini adalah berdasarkan hadis Nabi Saw. Jadi, kedudukan dan fungsi hadis adalah sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Sedangkan fungsinya adalah sebagai penjelas dan penguat hukum yang ditetapkan dalam al-Qur’an, juga sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri yang tidak dijelaskan dalam alqur’an. Pengertian Hadits
Perbedaan alqur’an dan hadits
- Sekalipun al-Qur'an dan as-Sunnah / al-Hadits sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup prinsipil. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain ialah :
- Al-Qur'an nilai kebenarannya adalah qath'I ( absolut ), sedangkan al-Hadits adalah zhanni ( kecuali hadits mutawatir ).
- Seluruh ayat al-Qur'an mesti dijadikan sebagai pedoman hidup. Tetapi tidak semua hadits mesti kita jadikan sebagai pedoman hidup. Sebab disamping ada sunnah yang tasyri' ada juga sunnah yang ghairu tasyri �. Disamping ada hadits yang shahih adapula hadits yang dha,if dan seterusnya.Al-Qur'an sudah pasti otentik lafazh dan maknanya sedangkan hadits tidak. .
- Apabila Al-Qur'an berbicara tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim wajib mengimaninya. Tetapi tidak harus demikian apabila masalah-masalah tersebut diungkapkan oleh hadits
Hadits Muttashil
Hadis muttasihl disebutjuga Hadis Mausul.
Artinya:
“Hadis muttasil adalah hadis yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadis marfu’ maupun hadis mauquf.”
Kata-kata “hadis yang didengar olehnya” mencakup pula hadis-hadis yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata “yang didengar” karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh.
Mereka menjelaskan,
sehubungan dengan hadis Mu ‘an ‘an, bahwa para ulama Mutaakhirin
menggunakan kata ‘an dalam menyampaikan hadis yang diterima melalui
Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadis yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.
Contoh Hadis Muttasil Marfu’
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi’ dari Abdullah bin
Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:
Artinya:
“Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya”
Contoh hadis mutasil maukuf adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:
Artinya
Artinya
“Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya.”
Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi’in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, “Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya.
Masing-masing hadis di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadis Maqtu yakni hadis yang disandarkan kepada tabi’in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadis maqtu termasuk jenis Hadis muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata, “Hadis maqtu tidak dapat disebut hadis mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadis mausul sebelumnya.
Oleh karena itu, mestinya dikatakan “Hadis ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya
“. Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadis maqtu sebagai hadis
mausul atau muttasil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua
hadis mausul di atas.
Seakan-akan pendapat yang
dikemukakan jumhur, yaitu hadis yang berpangkal pada tabi’in dinamai
hadis maqtu. Secara etimologis hadis maqtu’ adalah lawan Hadis mausul.
Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada
tabi’in.
Hadits Munqathi
Kata
Al-Inqita’ (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang
menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata
inqita’ merupakan akibatnya, yakni terputus.
Kata inqita’ adalah lawan kata
ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya
sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam
memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam.
Menurut kami, hal ini
dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama
mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqathi’ yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:
Artinya:
“Hadis Munqathi adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain.”
“Hadis Munqathi adalah setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain.”
Hadis yang tidak bersambung sanadnya adalah hadis yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
Artinya:
Setiap hadis yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadis Munqati’ (terputus) persambungannya.”
Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadis, An-Nawawi berkata, “Klasifikasi tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya”.
Dengan demikian, hadis munqati’ merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadis yang terputus sanadnya.
Adapun ahli hadis Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:
Artinya:
“Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad.”
“Hadis Munqati adalah hadis yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad.”
Definisi ini menjadikan hadis munqati’ berbeda dengan hadis-hadis yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan “Salah seorang rawinya” defnisi ini tidak mencakup hadis mu’dal; dengan kata-kata, “Sebelum sahabat” definisi ini tidak mencakup hadis mursal; dan dengan penjelasan kata-kata “Tidak pada awal sanad” definisi ini tidak mencakup hadis muallaq.
Hadits Mutawatir
a. Ta’rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah:
“Suatu hasil hadis tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.”
Artinya:
“Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan.”
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadis itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut.
Dalam
sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan
menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang
dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz
diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak
atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1).
Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus
berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita
yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau
rangkuman dari peristiwa- peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam
arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau
dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits
mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2).
Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil
mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat
tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
- Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
- Ashabus Syafi’i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
- Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
- Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:“Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu).” (QS. Al-Anfal: 64).
Seimbang jumlah para
perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat
berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini
tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan
bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang
demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu
memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Faedah Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan faedah ilmu daruri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath’i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir.
Umat
Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut
di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu daruri dari hadits
mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu daruri yang
berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1. Hadits Mutawatir Lafzi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzi antara lain :
“Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafaz menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya.”
Pengertian lain hadits mutawatir lafzi adalah :
“Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafaznya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi.”
Contoh Hadits Mutawatir Lafzi :
“Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka.”
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2. Hadits mutawatir maknawi
Hadits mutawatir maknawi adalah :
Artinya :
“Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.”
“Hadis yang berlainan bunyi lafaz dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum.”
Artinya:
“Hadis yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz.”
Jadi hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadis tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
Artinya :
“Rasulullah
SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam
doa salat istiqa’ dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak
putih- putih kedua ketiaknya.” (HR. Bukhari Muslim)
Hadis yang semakna dengan hadis tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadis-hadis yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
Artinya :
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.”
3. Hadis Mutawatir Amali
Hadis Mutawatir Amali adalah :
Artinya :
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.”
“Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu.”
Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadis mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadis mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadis mutawatir amali ke dalam mutawatir maknawi. Oleh karenanya hadis mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir maknawi.
Hadits Ahad
a. Pengertian hadis ahad
Menurut Istilah ahli hadis, tarif hadis ahad antara laian adalah:
Artinya:
“Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: ”
“Suatu hadis (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadis mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadis tersebut masuk ke dalam hadis mutawatir: ”
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:
Artinya:
“Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
“Suatu hadis yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir.”
b. Faedah hadis ahad
Para ulama sependapat bahwa hadis ahad tidak Qat’i, sebagaimana hadis mutawatir. Hadis ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadis tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadis tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadis mutawatir.
Bahwa
neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadis,
ialah memeriksa “Apakah hadis tersebut maqbul atau mardud”. Kalau
maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita tidak dapat
iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadis itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadis itu kita sebut muhkam.
Jika ada, kita
kumpulkan antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya
tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi
diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan,
kita pandang mansukh, yang terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya. Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadis, sesudah nyata sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh dan tidak mansukh.
0 Kommentare on Makalah Hadist dan Ruang Lingkupnya :
Silahkan berkomentar yang baik dan Jangan Spam !