PENDAHULUAN
Perkembangan
zaman yang semakin pesat menuntut para praktisi perbankan untuk terus
berinovasi dalam rangka memenui kebutuhan transaksi para nasabahnya
dengan menciptakan produk-produk baru. Saat ini merupakan hal yang
cukup beresiko, jika dalam melakukan transaksi yang cukup besar
menggunakan uang tunai.
Berawal
dari pertimbangan tersebut, Bank menawarkan berbagai macam kemudahan
melalui fasilitas kartu yang ditawarkan, seperti kartu kredit. Di dunia
perbankan konvensional, keberadaan kartu ini sudah cukup lama dan
telah memiliki nasabah yang tidak sedikit. Melihat respon positif
mengenai kartu kredit ini, maka Bank Syariah tertarik untuk mengkaji
produk tersebut untuk kemudian diterapkan dalam perbankan syariah yang
tentunya harus disesuaikan dengan prinsip syariah.
Namun
demikian, penerbitan kartu kredit syariah ini yang dipelopori oleh
Bank Danamaon mengundang banyak tanggapan mengenai prinsip-prinsip
syariah yang diterapkan karena kartu tersebut identik dengan unsur riba
maupun budaya konsumtif yang sangat bertentangan dengan prinsip syariah
karena dikhawatirkan akan lebih banyak menimbulkan mudharat daripada
manfaat.
Pada
pembahasan ini, kami mencoba untuk mengangkat penggunaan kartu kredit
syariah dipandang dari sisi fiqh kontemporernya yang mengacu pada
transaksi perbankan syariah yang semakin kompleks.
ISI
KARTU KREDIT
A. Pengertian
Kata
bithaqah atau kartu secara bahasa digunakan untuk potongan kertas
kecil atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan
dengannya. Sementara menurut Gemala Dewi dkk, dalam bukunya yang
berjudul hukum perikatan islam di indonesia dikatakan bahwa kartu
kredit adalah suatu jenis alat pembayaran sebagai pengganti uang tunai,
yang sewaktu-waktu dapat ditukarkan apa saja yang kita inginkan dimana
saja ada cabang yang dapat menerima kartu kredit dari bank atau
perusahaan yang mengeluarkannya. Pegertian lain yang lebih rinci dari
kartu kredit adalah uang plastik yang diterbitkan oleh suatu institusi
yang memungkinkan pemegang kartu untuk memperoleh kredit atas transaksi
yang dilakukannya dan pembayaran dapat dilakukan secara angsuran dengan
membayar sejumlah bunga (finanace charge) atau sekaligus pada waktu
yang telah ditentukan.
B. Macam-Macam Kartu Kredit
1. Kartu kredit pinjaman yang tidak dapat diperbaharui (charge card).
Apabila
pemilik kartu kredit terlambat membayar tagihannya dalam waktu yang
telah ditentukan, maka ia akan dikenai denda keterlambatan. Dan bila ia
menolak untuk membayar maka keanggotaannya dicabut, kartunya ditarik
kembali dan persoalannya dibawa kepengadilan.
2. Kartu kredit pinjaman yang bisa diperbaharui (revolving credit card).
Pemilik
kartu diberikan pilihan cara melunasi semua tagihannya secara lengkap
dalam jangka waktu yang ditoleransi atau sebagian dari jumlah
tagihannya dan sisanya diberikan dengan cara ditunda, dan dapat
diikutkan pada tagihan berikutnya.
C. Prosedur atau Mekanisme Penggunaan Kartu Kredit
1.
Pemegang kartu mengadakan perjanjian dengan penerbit kartu kredit lalu
penerbit kartu kredit menerbitkan kartu kredit atas nama pemegang
kartu, selanjutnya pemegang kartu kredit dapat melaksanakan hak dan
kewajibannya.
2. Pemegang kartu kredit mengadakan perjanjian jual beli dengan pedagang (merchant).
3.
Pedagang (merchant) menagih pembayaran kepada penerbit kartu kredit
dan penerbit kartu mengadakan pembayaran terlebih dahulu atas utang
pemegang kartu kredit.
4. Pada waktu yang ditentukan, perusahaan penerbit kartu kredit melakukan penagihan kepada pemegang kartu kredit.
D. Kesimpulan (analisa) Fikih Seputar Kartu Kredit
Kartu kredit membentuk tiga hal, yaitu :
1.
Hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pemegangnya. Yang
paling dekat bila hubungan ini didudukkan sebagai hubungan jaminan,
peminjaman dan penjaminan.
2.
Hubungan antara pihak yang mengeluarkan kartu dengan pedagang. Yang
paling jelas, kedudukan hubungan ini adalah atas dasar penjaminan dan
jaminan.
3.
Hubungan antara pemegang kartu dengan pedagang, kedudukannya
ditentukan oleh jual beli atau penyewaan sesuai dengan karakter yang
disepakati antara mereka berdua, selain juga ada sistem hiwalah
(pengalihan pembayaran).
E. Kartu Kredit Dipandang Dari Sudut Hukum Islam
Dipandang
dari sudut syariat, maka dalam penggunaan kartu kredit ini telah
terjadi tolong-menolong yang diperbolehkan, dimana pemegang kartu
tertolong dalam hal kebutuhan pembayaran dengan uang tunai pada satu
sisi, dan di sisi lain pedagang juga tertolong, karena barangnya terjual
yang pembayarannya dilakukan oleh perusahaan penerbit kartu kredit,
sedangkan perusahaan penerbit atau perbankan menerima komisi atas jasa
yang dilakukan.
a). Al-Ariyah (perjanjian kredit)
Dalam
penggunaan kartu kredit, pembayaran dilakukan oleh perusahaan penerbit
kartu kredit untuk kemudian diadakan penagihan dalam jangka waktu
tertentu kepada pemegang kartu kredit yang mempunyai saldo minimal
dalam rekeningnya.
b). Al-Wakalah (perjanjian pemberian kuasa)
Konsep
ini dalam penggunaan kartu kredit merupakan prinsip perwakilan
pembiayaan tunai dalam transaksi jual beli yang dilakukan oleh pihak
penerbit kartu (bank).
c). Al-Kafalah (perjanjian penanggungan)
Merupakan
jaminan yang diberikan oleh penanggung kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (pengalihan
tanggung jawab).
F. Hukum Syariat tentang Kartu Kredit
a. Persyaratan berbau riba.
Transaksi
untuk mengeluarkan kartu kredit pada umumnya mengandung beberapa
komitmen berbau riba. Ulama fiqh kontemporer terbagi menjadi 2 kubu
dalam membahas mengenai pengaruh komitmen tersebut terhadap sah
tidaknya transaksi pembuatan kartu kredit ini, yaitu :
• Membolehkan
Dalam hal ini transaksi tersebut sah akan tetapi komitmennya batal.
• Melarang
Dalam hal ini transaksi tersebut dianggap batal.
b. Prosentase yang dipotong oleh pihak Bank yang mengeluarkan kartu dari pengusaha.
Ahli
fiqh kontemporer berbeda pendapat dalam mengulas pendudukan masalah
secara tepat berkaitan dengan prosentase pemotongan oleh pihak Bank,
yaitu :
• Mendudukkan sebagai biaya administrasi.
• Mendudukkan sebagai upah dari jasa yang diberikan oleh pihak Bank kepada pedagang.
• Mendudukkan sebagai kompensasi perdamaian.
Apapun
pendudukan masalah yang dipilih, pengkajian fiqh kontemporer
berkesimpulan bahwa pengambilan prosentase keuntungan di sini
diperbolehkan dengan catatan harus dibatasi.
c. Denda keterlambatan dan bunga riba
Pihak
yang mengeluarkan kartu kredit ini menetapkan beberapa bentuk denda
finansial jika terjadi keterlambatan pembayaran. Denda semacam ini
termasuk riba nasiah yang keharamannya sudah sangat jelas.
Lalu bagaimana mengatasi problematika keterlambatan pembayaran hutang? Ada beberapa alternatif yang ditawarkan, antara lain :
• Memberi kelonggaran terhadap pihak yang berhutang.
• Mengadukan persoalan ke Pengadilan.
• Menyebarkan nama bersangkutan dalam daftar hitam.
G. KARTU KREDIT SYARIAH
Saat
ini Bank Syariah di Indonesia telah menerbitkan kartu kredit syariah.
Adapun yang menjadi dasar hukum menegenai penerbitan kartu kredit
syariah adalah, sbb :
•
Peraturan Bank Indonesia No : 6/24/PBI/2004 tentang Bank umum yang
melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Pasal 36 huruf m
menyatakan bank dapat melakukan kegiatan usaha kartu kredit, charge card
berdasarkan prinsip syariah.
•
Fatwa DSN No : 42/DSN-MUI/V/2004, yang menetapkan bahwa penggunaan
charge card (salah satu dari macam kartu kredit) secara syariah
diperbolehkan, dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut.
Ketentuan – ketentuan dalam operasional Kartu Kredit Syariah :
• Ketentuan umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
a.
Syariah charge card adalah fasilitas kartu talangan yang digunakan
oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau
pengambilan uang tunai pada tempat – tempat tertentu yang harus dibayar
lunas kepada pihak yang memberikan talangan (musdir al-bithaqah) pada
waktu yang telah ditetapkan;
b.
Membership fee (rusum al-udhuwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk
perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin
menggunakan fasilitas kartu;
c.
Merchant fee adalah fee yang diambil dari harga objek transaksi atau
pelayanan sebagai upah / imbalan / (ujrah samsarah), pemasaran
(taswiq), dan penagihan (tahsil al-dayn);
d. Fee penarikan uang tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud);
e. Denda keterlambatan (Late Charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran akan diakui sebagai dana social;
f.
Denda karena melampaui pagu (overlimit charge) adalah denda yang
dikenakan karena melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa
persetujuan penerbit kartu akan diakui sebagai dana social.
• Ketentuan Akad
Akad yang dapat dipergunakan untuk Syariah Charge Card adalah :
a.
Untuk transaksi pemegang kartu kredit (hamil al-bithaqah) melalui
merchant (Qabil al-bithaqah / penerima kartu), yang akan digunakan
adalah kafalah wal ijaroh.
b. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-Qardh wal Ijarah.
• Ketentuan dan batasan (dhawabith wal hudud) Syariah Charge Card :
a. Tidak boleh menimbulkan riba;
b. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat;
c. Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan antara lain dengan cara menetapkan pagu);
d. Tidak mengakibatkan utang yang tidak pernah lunas (ghalabah al-dayn); dan
e. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
• Ketentuan Fee (Uang Administrasi) :
a.
Iuran keanggotaan (membership fee). Penerbit kartu boleh menerima
iuaran keanggotaan (rusum al-udhwiyah), termasuk perpanjangan masa
keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin penggunaan
fasilitas kartu.
b.
Ujrah (merchant fee). Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil
dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah / imbalan (ujrah
samsarah), pemasaran (taswiq), dan penagihan (tahsil al-dayn).
c.
Fee penarikan uang tunai. Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan
uang tunai (rusum sahib al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan
penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah
penarikan.
• Ketentuan Denda
a.
Denda keterlambatan (Late Charge). Penerbt kartu boleh mengenakan
denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana social.
b.
Denda karena melampaui Pagu (overlimite charge). Penerbit kartu boleh
mengenakan denda karena pemegang kartu melampaui Pagu yang diberikan
(overlimite charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan diakui sebagai
dana social.
Hubungan
hukum anatara penerbit dan pemegang kartu kredit dituangkan dalam
perjanjian tertulis yang dibuat dibawah tangan dan klauasul –
klausulnya ditentukan secara sepihak oleh penerbit yang bersangkutan
dalam bentuk yang standar. Tentu saja hal ini perlu disesuaikan dengan
kemaslahatan.
Bolehkah membeli emas atau perak dengan kartu kredit tersebut?
Emas
dan perak hanya bisa dibeli dengan kontan yakni dari tangan ke tangan
penyerahan barang secara langsung merupakan syarat sahnya jenis jjual
beli kedua barang ini, sebagaimana sabda Nabi :
“emas
ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, harus sama beratnya
dan harus diserahterimakan secara langsung. Kalau berlainan jenis,
silahkan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
Lalu bolehkah membeli emas atau perak dengan kartu kredit?
Telah
dijelaskan sebelumnya bahwa serah terima langsung adalah penyerahan
barang dari tangan ke tangan. Dan dalam syariat sendiri sifatnya
mutlak, pembatasannya dikembalikan pada kebiasaan yang ada. Lembaga
pengkajian fikih Islam telah mengeluarkan fatwa dibolehkanya membeli
emas atau perak dengan mengunakan cek dengan syarat bahwa serah
terimanya diselesaikan saat transaksi. Penyerahan cek itu disetarakan
dengan penyerahan uang secara langsung ketika diserahkan kepada pihak
bank yang bekerja sama dengan pedagang. Kalau pihak pedagang telah
memegang cek tersebut, berarti serah terima barang dan pembayaran yang
disyaratkan dalam jual beli kedua barang tersebut telah terwujud.
Dengan
demikian kartu kredit juga bisa dijadikan pembayaran langsung sehingga
bisa digunakan untuk membeli emas atau perak sementara alat tukar yang
tidak bisa dijadikan pembayaran langsung, tidak bisa digunakan untuk
membeli kedua barang itu telah berwujud.
Penukaran Uang dengan Kartu Kredit
Asal
kartu kredit berfungsi sebagai kartu internasional, dan pemegangnya
bisa menggunakannya di negara manapun. Kalau ia menarik dananya dengan
menggunakan mata uang asing yang berbeda nilainya dengan yang dijadikan
alat transaksi dalam kalkulasi nanti, maka pihak yang mengeluarkan
kartu akan menutupi biaya pengeluaran dengan mata uang asing itu,
kemudian memperhitungkan atas nasabahnya itu dengan mata uang local
dengan menggunakan harga penukaran yang disepakati bersama. Namun
bolehkah membayar hutang dengan mata uang yang berbeda dengan mata uang
yang dijadikan utang?
Tidak diragukan lagi bahwa serah terima langsung syarat sahnya penukaran uang, berdasarkan sabda nabi SAW :
“kalau berlainan jenis, silahkan kalian jual sesuka kalian, namun harus secara kontan juga.”
Penukaran
uang yang ada dalam tanggungan (hutang) adalah boleh, asal harganya
dengan harga saat itu sesuai dengan harga saat itu, bila kedua orang
penukar berpisah, dan tidak ada hutang piutang diantara mereka berdua.
Yakni disyaratkan agar salah seorang diantara mereka tidak memiliki
tanggungan terhadap yang lain.
Penukaran
uang dengan cara ini terkadang dilakukan antara uang yang berada dalam
kepemilikan umum tidak ada dalam lokasi transaksi, dengan uang yang
ada dilokasi transaksi, atau bisa juga antara dua jenis mata uang yang
sama-sama dalam kepemilikan dan tidak ada dalam lokasi transaksi, kasus
ini disebut pengguntingan atau penukaran hutang. Pengguntingan ini
hanya bisa dilakukan pada jumlah yang lebih kecil dari kedua hutang itu
saja, sementara sisanya dibayar uang lain, sehingga ketika berpisah
tidak ada lagi tanggungan diantara kedua pihak.
Dasarnya adalah hadits ibnu umar yang menceritakan,
“kami
pernah menjual unta di Baqi’. Kami menjualnya dengan uang emas,, lalu
mendapatkan bayaran dengan uang perak. Atau menjualnya dengan uang
perak dan mendapatkan bayaran dengan uang emas, aku tanyakan hal itu
kepada Rasulullah lalu beliau menjawab :
“Boleh saja, asal dijual dengan harga hari itu juga, apabila kaliankeluar dari transaksi tanpa ada apa-apa diantara kalian.”
Dengan
demikian boleh saja melakukan transaksi dengan perbedaan mata uang
ini, dengan catatan bahwa kalkulasinya dilakuakan berdasarkan harga
penukaran hari standar atau hari pengguntingan, yakni hari pendebetan
rekening yang dimiliki oleh pemegang kartu.
Uang Administrasi Penarikan Uang Tunai
Diantara
jenis kartu kredit ada yang bisa digunakan untuk menarik uang tunai
dari rekening bank bersangkutan, biasanya pihak bank akan mengambil
uang administrasi dari pengambilan uang tunai itu. Lalu sejauh mana
uang administrasi itu dibolehkan?
Para
ulama fiqh kontemporer berbeda pendapat tentang hukum uang-uang
administrasi semacam itu, berdasarkan perbedaan jenis penarikan itu,
apakah sekedar penarikan uang tunai dari rekening pemegang kartu saja,
atau ada unsur pinjaman?
Diantara
ulama ada ang berpandangan bahwa hukum uang-uang administrasi boleh,
karena tidak lebih dari sekedar upah, imbalan dari pentransferan uang
nasabah dari rekeningnya menuju berbagai lokasi dimana uang itu
digunakan, yang tentu saja membutuhkan biaya operasional. Jadi
kedudukanya adalah sebagai upah transfer dari satu negeri ke negeri
lain. hannya saja sistem transfer tersebut terbalik karena pihak bank
yang mewakili pihak yang mengeluarkan kartu itu terlebih dahulu
membayarkan uang, kemudian baru memintanya dari pihak yang memegang
kartu untuk merealisasikan syarat pembayaran langsung dalam penukaran
mata uang ini. Jarak yang ada antara penyerahan uang kontan dengan
penutupan hutang tidaklah tujuan dalam proses ini, juga bukan termasuk
penentunya. Inilah pendapat yang akhirnya dipilih lembaga keuangan
Kuwait dan bank Islam Jordania.
Ada
juga yang berpendapat bahwa uang administrasi dalam kasus ini haram
hukumnya. Karea proses penarikanya bersifat hutang atau peminjaman dari
pihak pemegang kartu, atau daripihak yang mewakilinya, maka uang yang
dimbil sebagai imbalannya termasuk riba yang diharamkan.
Menurut kami yang paling benar adalah harus dibedakan anatra dua kondisi yang berbeda :
Pertama,
kalau penukaran itu melalui penarika dana langsung dari rekening
nasabah, lalu siambil uang administrasinya, maka cara demikian
disyariatkan. Deikian juga apabila pihak bank yang mengeluarkan
kartumemiliki uang di bank yang mewakili sehingga bisa menutupi biaya
dana yang ditarik tersebut.
Kedua,
ketika bentuknya adalah pinjaman. Maka imbalan yang diambil ketika itu
adalah riba ynang diharamkan. Demikian juga apabila rekeningnya adalah
rekening bebas, atau dana yang ada tidak cukup untuk menutupi biaya
yang ditarik.
Tidak
diragukan lagi bahwa keharaman dalam kasus ini berkaitan dengan
hubungan antara pihak bank yang mengeluarkan kartu dengan bank yang
mewakilinya. Adapun nasabah sendiri kerjanya hanya menarik dana yang
dititipkan pada pihak yang mengeluarkan kartu. Uang administrasi yang
dia keluarkan adalah upah dari kesulitan yang dihadapi pihak yang
mengeluarkan kartu, dengan upaya dan segala tanggung jawab berikut biaya
yang juga harus dikeluarkan untuk tujuan itu. pihak nasabah tidak
memiliki kaitan dengan urusan antara pihak bank yang mengeluarkan kartu
dengan bank yang mewakilinya.
KESIMPULAN
•
Kartu kredit syariah (Syariah charge card) seperti yang tertera dalam
Fatwa DSN MUI No. 42/DSN-MUI/V/2004 merupakan fasilitas kartu talangan
yang digunakan oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat
bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat – tempat tertentu yang
harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (musdir
al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan
• Dipandang dari sudut syariat, maka dalam penggunaan kartu kredit ini telah terjadi tolong-menolong yang diperbolehkan, dimana pemegang kartu tertolong dalam hal kebutuhan pembayaran dengan uang tunai pada satu sisi, dan di sisi lain pedagang juga tertolong, karena barangnya terjual yang pembayarannya dilakukan oleh perusahaan penerbit kartu kredit, sedangkan perusahaan penerbit atau perbankan menerima komisi atas jasa yang dilakukan.
• Dasar hukum penerbitan kartu kredit syariah :
a. Peraturan Bank Indonesia No : 6/24/PBI/2004
b. Fatwa DSN MUI No. 42/DSN-MUI/V/2004
• Akad yang dipergunakan dalam transaksi kartu kredit syariah adalah :
a. Al-ariah (perjanjian kredit)
b. Al-wakalah (perjanjian pemberian kuasa)
c. Al-kafalah (perjanjian penanggungan)
• Dipandang dari sudut syariat, maka dalam penggunaan kartu kredit ini telah terjadi tolong-menolong yang diperbolehkan, dimana pemegang kartu tertolong dalam hal kebutuhan pembayaran dengan uang tunai pada satu sisi, dan di sisi lain pedagang juga tertolong, karena barangnya terjual yang pembayarannya dilakukan oleh perusahaan penerbit kartu kredit, sedangkan perusahaan penerbit atau perbankan menerima komisi atas jasa yang dilakukan.
• Dasar hukum penerbitan kartu kredit syariah :
a. Peraturan Bank Indonesia No : 6/24/PBI/2004
b. Fatwa DSN MUI No. 42/DSN-MUI/V/2004
• Akad yang dipergunakan dalam transaksi kartu kredit syariah adalah :
a. Al-ariah (perjanjian kredit)
b. Al-wakalah (perjanjian pemberian kuasa)
c. Al-kafalah (perjanjian penanggungan)
DAFTAR PUSTAKA
Al mushlis, Abdullah. Fiqh Ekonomi Keuangan Islam. Darul Haq. Jakarta : 2008.
Gemala Dewi SH, LLM, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Kencana. Jakarta: 2006
Gemala Dewi SH, LLM, dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Kencana. Jakarta: 2006
1 Kommentare:
terimakasih sudah mengshare fatwa DSN tentang Syariah Card. saya jadi terinspirasi untuk menjelaskan kembali mengenai Kartu Kredit Syari'ah. jika berkenan untuk menyempatkan membaca tulisan saya tentang Kartu Kredit Syari'ah, silahkan berkunjung di http://artikelekis.blogspot.com/2014/09/kartu-kredit-syariah-syariah-card.html
Silahkan berkomentar yang baik dan Jangan Spam !