Jejak Rifaiyah di Daerah Pekalongan - Ahmad Nasihun, Figur Rifaiyah Multitalen
Suatu hari beberapa pemuda berkerumun asyik menghabiskan sore menunggu maghrib tiba. Mereka bercengkrama, sesekali saling ejek, juga terlihat di sela-sela jarinya terselip rokok. Tiba-tiba terdengar suara “kletek kletek klek klek” sontak saja mereka berhamburan melarikan diri laksana para teroris yang lagi diburu detasemen 88.
Diantara mereka mampu melarikan diri, sedang beberapa pemuda terlanjur kepergok Sang Blawong. Perokok itu saking paniknya memasukkan rokok ke sakunya. Tak mungkin melempar putung rokok ke arah depan, samping, karena sudah terlanjur ada Kiai yang sangat ditakuti karena kharismanya. Sampai jelang akhir perjumpaan dengan sang Kiai pemuda tetap saja diam sambil menahan rasa panas api. Dan jeritanpun meledak saat beberapa langkah kiai meninggalkan sisa-sisa kerumunan itu. “aduuuuuhhh….” Sambil lari terbirit-birit
Tentu anda akan mengira-kira siapa Sang Blawong itu? Asal jangan sampai mengusik jelang tidur anda. Tak usah dijawab sekarang. Masih banyak cerita tentang beliau. Yang jelas dia salah seorang tokoh Rifaiyah kharismatik dari Pekalongan yang lahir pada 1334 H / 1915 M di dukuh menjangan. Waktu itu masa Indonesia belum lahir. Kemerdekaan masih diperjuangkan. Dan kita semua masih berdiam di negara yang punya julukan Hindia Belanda. He…he…jadi kita mendiami dua negara ya…Hindia dan Belanda…tentu bukan itu. Maksudnya kakek-nenek kita memang benar-benar mendiami negara yang bernama Hindia Belanda sebelum negara ini dinamai Indonesia.
Belum juga mengetengahkan siapa ibu–bapaknya malah ngelantur kemana-mana. Oke..deh..yang jelas Beliau bukan sejenis Isa Almasih jadi kelahirannya pasti melalui prosesi dua orang yang melakukan reproduksi, yang bapak bernama KH. Abu Hasan dan ibunya bernama Wasri. Setujuuuu!!! Ya jelas setuju lah. Wong saya yakin pembacanya belum ada yang tahu…he..he…pisss coy.
Abu Hasan bisa berarti bapaknya Hasan. alias Abu Hasan itu bukan nama sejak lahir, tapi nama kedua seseorang ketika mempunyai anak pertama yang bernama Hasan. Kok bisa ya…karena memang dulu ada tradisi seseorang dinamai dengan anak pertamanya. Semacam tradisi di Jogja, kalau awewe sudah disunting lelaki, maka lazim namanya berubah menjadi nama suaminya, misalnya Ibu Fadlan, Ibu Sumito, dll. Makanya kalo gak ingin berubah nama jangan cari pacar orang Jogja ya.
Beliau hampir disegani di setiap tempat yang disinggahi, dan keseganan masyarakat pada waktu itu hampir tak masuk akal untuk nalar manusia abad 21. Menurut pengakuan salah seorang muridnya, “Dalam setiap musyawarah di desa Paesan, hampir beliau saja yang bersuara dan H. Abdul Karim. Lainnya diam terpaku lalu samina wa athona.”
Hasil keputusan dalam musyawarah kampung tentang berbagai hal sangat dimaklumi disetujui begitu saja oleh musyawirin. Karena sebelumnya Sang Blawong Ahmad Nasihun sudah lebih dulu keliling rumah penduduk untuk minta pendapat beberapa orang yang dianggap bisa diajak berfikir.
Menurut H. Fakhrudin yang juga murid K. Ahmad Nasihun, menyatakan, “bahwa pola fikir Kiai Nasihun itu jarang dipunyai Kiai sekarang. Dulu kalau ada rencana punya hajat, entah itu membangun masjid, tajuk, dll beliau selalu menyaring pendapatnya orang-orang yang punya gagasan dalam maupun sebelum musyawarah. Walaupun seseorang itu dianggap oleh masyarakat sebagai orang awam, kalau gagasannya bagus akan dipakai. Kalau sekarang kan tidak! Walaupun gagasannya baik kalau dia orang miskin tentu idenya tak akan dipakai. Sudah kaping-kaping musyawarah hanya mendengarkan ide-ide orang kaya, sehingga rakyat jelata trauma untuk urun rembug.” Tegas muallim Pondok Pesantren Insap Pekalongan dari tahun 70an hingga sekarang.
Yang menjadi heran banyak muridnya, walaupun beliau kharismanya begitu menundukkan tetapi Ahmad Nasihun selalu berusaha mengakrabi anak-anak. Di masjid Istiqomah Paesan Kedungwuni Pekalongan beliau sering bercanda mengajak anak-anak untuk belajar qiro (qori). Hampir pengajiannya selalu dihadiri anak-anak. Pengajian pada masa Kiai penggagas koperasi Syajarun Thayyibatun ini dihadiri semua umur. Dari anak-anak sampai kakek-kakek.
Para jamaah pengajian yang belum mempunyai kitab diperintah K. Ahmad Nasihun untuk menulis. Dengan telaten Kiai yang juga tukang kayu ini menuliskan bait demi bait kitab tarajumah yang dikaji untuk ditiru para murid. Menurut pengakuan H. Fahruddin, “setiap pengajian harus mencapai satu koras. Pengajian beliau minimal dua jam.” Sambil berusaha meyakinkan penulis. Penulis hanya manggut-manggut mengiyakan. “jadi setiap ngaji kita punya seratan kitab sebanyak satu koras.” Tambahnya.
Suatu pagi, matahari juga belum menampakkan wajahnya. Bunyi hentakan kaki, dan nafas tersengal terdengar beriringan dengan bunyi kicauan burung yang bersahutan. Embun pagi masih terus saja turun. Hentakan kaki itu terus melangkah dan terdengar semakin menjauh. Tiba-tiba ada suara memanggil dari arah langgar (mushola) “Sriiin” sontak saja orang yang dipanggil dari kejauhan bergegas balik arah menuju suara. Terdengar nafas tersengal, karena ia berlari untuk menuju seseorang yang memanggilnya “enten nopo yai…” “mending awakmu olah raga nang kene bae.” “maksude pripun…” “yo iku kolah langgar diseni.” Maksudnya agar orang itu tak jauh-jauh olahraga, cukup dengan menimba air diisikan ke kolah bisa juga sebagai ikhtiar olah raga. Dengan tujuan seseorang bisa olah raga sekaligus oleh pahala.
Beliau di terima oleh masyarakat luas dari semua jenis golongan dan ormas. Walau pada waktu itu jamaah Rifaiyah di beberapa daerah mendapatkan perlawanan dari orang-orang yang kurang setuju dengan doktrin kitab Tarajumah tetapi Ahmad Nasihun malah dipercaya oleh orang-orang NU untuk memegang peranan dalam kepengurusan masjid jami NU menjangan. Beliau juga yang mempelopori kegiatan-kegiatan masjid jami itu.
Seorang figur yang penuh kebijakan dan mengutamakan kemaslahatan masyarakat, kalimat itu yang mungkin sedikit bisa menggambarkan karakter selanjutnya. karena dalam masyarakat Rifaiyah sendiri tak jarang timbul gejolak. Entah disebabkan karena masing-masing figur ingin berperan, atau karena hal lain.
Yang jelas di Paesan Kedungwuni Pekalongan sendiri dapat ditengarai ada ‘kerenggangan’ warga Rifaiyah, pasca dibangunnya beberapa mushola selain masjid, seperti Mushola Mustakim, Langgar Fadhilah. Keberadaan dua mushola itu, waktu itu mengurangi konsentrasi kegiatan warga dalam beribadah di tempat tertentu, mengingat warganya masih sekitar 80 rumah.
Langkah yang diambil Nasihun adalah dengan mengajak musyawarah semua warga membentuk kesatuan kepanitiaan yang akan mengurusi semua pembangunan yang akan direncanakan di Paesan. Kemudian juga pembagian batas wilayah masing-masing jamaah. Maksudnya sebagai usaha pemerataan jamaah untuk setiap tempat ibadah.
Nasihun juga melarang berdirinya shalat jumat di Paesan Utara yang dulu sempat direncanakan. Alasannya tentu agar konsentrasi beribadah di tempat tertentu membantu kesatuan lahir batin warga Rifaiyah.
Kita tahu, kiai satu ini mempunyai keluasan ilmu dan pemantik kreatifitas. Karena hampir pemikirannya melampaui zamannya. Diantaranya beliau menggagas memperbanyak Kitab Tarajumah dengan teknologi cetak. Nasihun menyempatkan belajar ke jakarta untuk hal yang satu ini. Kemudian pencetakan kitab tarajumah dilanjutkan oleh teman seperjuanggannya KH. Rahmatullah sampai diwariskan kepada putranya yang bernama Ahmad Rifai.
Pada masa-masa selanjutnya dapat ditengarai dengan munculnya kecanggihan teknologi photocopy yang meremukkan semangat santri-santri untuk menuliskan kitab-kitab tarajumah. Dulu hampir sebagian besar santri di pesantren Rifaiyah selalu menulis kitab tarajumah, bahkan jika orang kampung berminat, maka santri tak segan menjualnya untuk ongkos tholabul ilmi.
Metode menulis ini koheren dengan teori ingatan, yang kurang lebih berbunyi: “orang yang hanya membaca maka daya serap ingatannya atas materi yang dibacanya hanya 20 persen, seandainya ditambah dengan menuliskannya bisa mencapai 50 persen, sampai menginjak prosentase 90 persen jika seseorang membaca, menulis, dan mengajarkannya.
Pengakuan tentang masalah ingatan hafalam kitab tarajumah ini juga dilontarkan H. Abdul Kholik menanggapi kenyataan turunnya minat untuk mempelajari kitab tarajumah. Beliau heran bahwa generasi dirinya kalau hafalan sampai sekarang masih pada nyantol (ingat). Tetapi generasi anak-anaknya walaupun pernah hafal menginjak beberapa tahun saja sudah hilang seperti ditelan usia.
Kok berteori sih…tahan…tahan…konak mu berteori, beropini, itu menggurui gak baik bagi pembaca yang udah kebal teori. Oke deh kita lanjut kepada moyang kita yang kreatif itu. Kira-kira apalagi ya…kreativitasnya.
Kiai Nasehun pada awalnya berguru kepada Kiai Samian yang dikenal juga dengan Mbah Siti, Srinahan Kesesi. Nama Samian sekarang diabadikan oleh Kiai Abdullah Hamzah untuk nama pondok Pesanten Rifaiyah di Srinahan Kesesi, dengan As-Samiani. Pantas saja santri sana punya pendengaran semua…ya jelas tho ya…dalam hidup memang harus banyak mendengarkan dari pada banyak mbacot. Allah aja paling suka menyebut dirinya Samiun Bashir bukan Basirun Sami. Dengarkan dulu baru baca dan teliti.
Walaupun tidak di sahara padang pasir, Nasihun remaja tetap saja haus ilmu pengetahuan dan agama, selepas nyantri di Srinahan Kesesi di mengembara ke alam yang lebih kota, dia singgah beberapa tahun di Pesantren Watesalit Batang. beliau berguru kepada K. Imam Basyari. Saking hausnya, ia juga setiap minggu ngaji kepada KH. Badjuri Kretegan Kendal. Selepas memperdalam kitab-kitab tarajumah, beliau masih ingin menimba ilmu-ilmu dalam kitab salaf, makanya dengan niat, tekat bulat Ahmad Nasihun melesat sampai di Pesantren Tebuireng Jombang hingga tamat. Disana beliu nyucup barakah ilmu kepada KH. Hasyim Asyari, pendiri ormas Nahdlotul Ulama ini.
Jebol dari pesantrennya Gus Dur, beliau mulai menjejakkan kaki di Pekalongan, mengulurkan tangan melayani masyarakat, dan menyingsingkan lengan baju mempelopori berbagai macam bidang yang sangat varian. Diantaranya beliau membangun ekonomi umat, memberi peluang kerja kepada banyak orang dengan membuka usaha konveksi, pertukangan kayu, dan batik.
Sebagaimana diceritakan Nur Aini, salah satu putri pertama K. Nasihun, beliau memberikan tugas kepada Aini untuk mengacunt segala hal yang berkenaan dengan usaha beliau, khususnya batik. Hal itu dirasakan isteri KH. Abdul Aziz ini sebagai pendidikan secara langsung, sampai sekarang ilmu itu sangat bermanfaat, karena hingga sekarang Bu Nyai ini mengelola distributor batik yang jangkauan pemasarannya hingga luar kota. Dari hasil usahanya ini, beliau dapat membiayai kelangsungan pendidikan keenam putra-putrinya hingga lulus.
Strategi dakwah sambil dagang diwariskan K. Nasihun dari sejak dimulainya pengajian selapanan yang diselenggarakan di Masjid Istiqomah. Pengajian selapanan ini dihadiri oleh warga masyarakat Rifaiyah dari berbagai penjuru Pemalang, Pekalongan, Batang. mereka berbondong untuk ngaji, sekaligus membawa dagangannya masing-masing. Selepas pengajian mereka bertukan informasi dan bertransaksi di tempat tertentu di masing-masing perumahan warga yang bersangkutan.
Diantara jamaah pengajian ada yang kulakan pakaian di Paesan, ada yang menawarkan tapih batik hasil karya tangan sendiri, ada beberapa pakaian yang di kulak dari pasar kemudian ditawarkan kepada warga turut omah (dor to dor). Hingga bekas rumah K. Nasihun sendiri sekarang sebagai tempat kulakan batik selepas pengajian selapanan Ahadan berakhir.
Kiai Nasihun dalam membangun organisasi memang handal. Beliau dalam beberapa tahun sempat mengkoordinir setiap dukuh rifaiyah agar mengirimkan pemuda untuk dikader, dan diberi pendidikan keorganisasian dan kepemimpinan. Beliau juga berfikir tentang perlunya membentuk organisasi sebagai wadah penyatuan visi orang-orang Rifaiyah.
Ceritanya berawal dari tiga anak didik Kiai Nasihun yang dikirim ke tiga pesantren Rifaiyah: Pesantren Purwosari, Kretegan, dan Batang. Suatu saat selepas lebaran. Bapak Koperasi Rifaiyah ini memanggil ketiga anak santri tersebut. Nasihun mengajukan pertanyaan: “rokok itu hukumnya bagaimana?” ketiga santri itu masing-masing menjawab berbeda. Yang pertama halal, kedua haram, ketiga makruh, dengan dalil dan alasan yang mereka kemukakan. Sampai ujung-ujungnya Nasihun tertegun dan berfikir tentang nasib santri tarajumah (rifaiyah) ke depan, kalau selalu terjadi khilafiyah. Perbedaan bisa menjadi rahmat, sekaligus laknat. Maka harus butuh kecerdasan untuk mengelolanya.
Timbullah gagasan untuk membentuk organisasi sebagai langkah menyatukan visi dan mengelola perbedaan agar menjadi rahmat. Nasihun berdiskusi dengan teman sekaligus muridnya, K. Hambali Randudongkal, dan sowan kepada Bapak Carbin yang dirasa bisa memberikan sumbangsih untuk mengelola organisasi, karena beliaulah termasuk sarjana pertama Rifaiyah di Tanahbaya Randudongkal. Sampai lahirlah Yayasan Pendidikan Islam Rifaiyah.
Bolehlah kalau Mbah-mbah Sampeyan yang berjasa kepada Islam, khususnya Rifaiyah pingin dituliskan semacam diatas. Tinggal calling kami crew tanbihun.com Ahmad Saifullah dengan nomor: 082141181760. bisa kami bantu penulisannya untuk mendokumentasi keteladanan, dan tentunya mengetahui Jejak Warga Rifaiyah dimana-mana. Siiip.
Bersambung…..
Wawancara dengan:
KH. Ahmad Syadzirin, KH. Zaenal Abidin, KH. Ali Nahri, KH. Fakhruddin, KH. Abdul Khamid, Hj. Nuraini, Mbah Saluhi, Abdul Jalil, Alif Ayatullah, Nasir, Mufid Bani Adam.
Wawancara dengan:
KH. Ahmad Syadzirin, KH. Zaenal Abidin, KH. Ali Nahri, KH. Fakhruddin, KH. Abdul Khamid, Hj. Nuraini, Mbah Saluhi, Abdul Jalil, Alif Ayatullah, Nasir, Mufid Bani Adam.
Paesan tengah, 2 Januari 2010
Ahmad Saifullah Ahsa
Ahmad Saifullah Ahsa
0 Kommentare on Jejak Rifaiyah di Daerah Pekalongan :
Silahkan berkomentar yang baik dan Jangan Spam !