MAKALAH | PENDIDIKAN | AGAMA | APLIKASI HP | TIPS AND TRIK | CERITA | CONTOH | DOWNLOAD GRATIS

Makalah Penelitian Sanad dan Matan (Takhrij) | Ulumul Hadist


Makalah Penelitian Sanad dan Matan (Takhrij)
BAB I
PENDAHULUAN

            Ucapan, kepribadian dan perbuatan Nabi Muhammad Saw. merupakan pegangan dan uswah (tauladan) bagi Muslimin. Selain itu, sejarah perjuangannya pun dijadikan motivasi bagi umat Islam dalam melanjutkan dakwah menyebarkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengetahui manhaj (metodologi) keberhasilan perjuangan, karakteristik, dan pokok – pokok ajaran Nabi, maka hal itu dapat dipelajari secara rindi dalam al-sunnah (hadist).
            Hadist Muhammad Saw, selain sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an, juga berfungsi sebagai sumber dakwah (perjuangan) Rasulullah. Hadist juga mempunyai fungsi penjelasan penjelasan bagi Al-Qur’an, menjelaskan yang global, mengkhususkan yang umum, dan menafsirkan ayat – ayat Al-Qur’an.
            Konsesnsus ulama hadist mengatakan bahwa hadist yang menjadi objek penelitian adalah hadist ahad (baik yang masyhur, maupun yang aziz) sedangkan hadist mutawatir tidak menjadi objek penelitian, sebab hadist mutawatir tidak diragukan lagi keshahihannya berasal dari nabi Muhammad Saw. Dengan demikian tujuan utama penelitian hadist adalah untuk menilai apakah secara historis sesuatu yang disebut sebagi hadist itu benar – benar dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya berasal dari nabi, atau tidak. Hal ini sangat penting mengingat kedudukan kualitas hadist erat sekali kaitannya dengan dapat atau tidaknya dijadikan sebagai hujjah agama.








BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN SANAD DAN MATAN HADIST
1.      Sanad Hadist
Kata sanad menurut bahasa, dari sanada – yasnudu yang berarti mu’tamad (sandaran/tempat bersandar, tempat berpegang, yang dipercaya atau yang sah), sedangkan secara terminologis sanad ialah susunan atau rangkaian orang – orang yang menyampaikan materi hadist tersebut, sejak yang disebuy pertama sampai kepada Rasul Saw,
2.      Matan Hadist
Kata matan menurut bahasa berarti (tanah yang meninggi). Secara termonologis, istilah matan memiliki beberapa defenisi yang pada dasarnya maknanya sama, yaitu materi atau lafadz hadist itu sendiri. Seperti dikatakan oleh ath-Thibi yang dikutip oleh Said Agil Husain al-Munawar mengatakan matan ialah :   ألفَاظُ الحَدِيْثِ الَّتِيْ تَتَقَوَّمُ بِهَا مَعَانِيْهِ   “lafadz-lafadz hadist yang didalamnya terkandung makna-makna tertentu”1.

B.     FAKTOR – FAKTOR YANG MENDORONG ULAMA MENGADAKAN PENELITIAN SANAD DAN MATAN HADIST.
Banyak faktor yang menyebabkan para ulama hadist memandang perlu diadakannya penelitian sanad dan matan hadist. Maka dari itu penulis membagi faktor – faktor itu kedalam dua bagian.
1.      Dilihat dari sisi kedudukan hadist sebagai salah satu sumber ajaran Islam
Dilihat dari sisi ini penulis rasa sangatlah penting untuk diadakan penelitian terhadap sanad dan matan hadist sebab hadist merupakan salah satu sumber ajaran Islam2. Hadist juga sebagai pedoman umat Islam yang harus yang mempunyai kedudukan kedua setelah Al-Qur’an. Hadist juga merupakan keterangan Al-Qur’an.
1 Dr. H. Said Agil Husain al-Munawar, M.A., Ilmu Hadis, Jakarta, Gaya Media Pertama, 1996, hlm., 94
2 Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta, Bulan Bintang, 1995, hlm., 85
Tetapi ada golongan yang hanya berpegang pada Al-Qur’an saja dalam menjalankan ajaran agamanya (yang disebut inkar as-sunnah). Diantara faktor yang mendorong faham inkar as-sunnah ialah ketidak pahaman mereka tentang berbagai hal berkenaan dengan ilmu hadist3. Padahal sudah jelas diterangkan di dalam Al-Qur’an :
`¨B ÆìÏÜムtAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøŠn=tæ $ZàŠÏÿym
 Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka [Qs Al-Nisa’: 80].
2.      Dilihat dari sejarah hadist.
Kalau dilihat dari sejarah hadist itu sendiri, ada tiga peristiwa penting yang mengharuskan adanya penelitian terhadap sanad dan matan hadist ; pertama, pada zaman nabi Muhammad Saw. tidak tidak seluruh hadist tertulis; kedua,sesudah zaman nabi terjadi banyak pemalsuan hadist demi kepentingan pribadi, polotik, dll; ketiga, penghimpunan hadist secara resmi dan massal terjadi setelah perkembangannya pemalsuan – pemalsuan hadist4.

C.     BAGIAN – BAGIAN YANG HARUS DITELITI
1.      Kaidah – Kaidah dalam Kritik Sanad
Kaidah kritik sanad dan matan hadist dapat diketahui dari pengertian istilah hadist shahih. Menurut ulama hadist seperti yang dikatakan oleh Ibnu Al-Ahalah yang dikutip oleh Moh. Ahmad dan M. Mudzakkir, hadist shahih adalah :
الحَدِيْثُ المُسْنَدُ الذِي يَتَّصِلُ اِسْنَدُهُ بِنَقْلِ العَدْلِ الضَّابِطِ الى مُنْتَهَاهُ وَلاَ يَكُوْنُ شَاذًا ولاَ مُعَلَّلاً
“hadist yang bersambung sanadnya (sampai rasulullah), diriwayatkan oleh (periwayat) yang adil dan dzabit sampai akhir sanad, (didalam hadist itu) tidak terdapat kejanggalan (syuzuz dan cacat illat)”5.

3 pada zaman al-Syafi’iy (wafat 204 H = 820 M), golongan inkar as-sunnah telah timbul, makanya al-syafi’iy menulis bantahan terhadap argumen-argumen mereka dan membuktikan keabsahan hadist sebagai salah satu sumber ajaran islam. Ulama pada masa berikutnya menggelari al-syafi’iy dengan “pembela Hadist” (Nashir al-Hadist)  ibid., hlm., 87
4 Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadist, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persaada, 2004, hlm., 11
5 Drs. H. Muhammad Ahmad, Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2004, hlm., 126
Dari pengertian hadist shahih diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur – unsur hadist shahih menjadi :
1)      Sanad bersambung
2)      Periwayat bersifat adil
3)      Periwayat bersifat Dzabit
4)      Dalam hadist tidak terdapat kejanggalan (syuzuz)
5)      Dalam hadist tidak terdapat cacat (illat)
Ketiga unsur yang disebutkan pertama kali adalah berkenaan dengan sanad sedangkan dua unsur berikutnya berkenaan dengan sanad dan matan hadist.
Dilihat dari syarat – syarat seorang periwayat ada dua macam yaitu pertama adil adalah (1) beragama Islam. Periwayat hadist ketika mengajarkan hadist harus telah beragama Islam, karena kedudukan periwayat hadist dalam Islam sangatlah mulia. (2) berstatus mukallaf. Syarat ini didasarkan pada dalil naqli yang bersifat umum. Dalam hadist Nabi Muhammad Saw. Bahwa orang gila, orang lupa, dan anak – anak terlepas dari tanggung jawab. (3) Melaksanakan ketentuan agama, yakni teguh melaksanakan adab – adab syara’ dan (4) memelihara muru’ah. Muru’ah merupakan salah satu tata nilai yang berlaku dalam masyarakat6.
Sementara itu syarat – syarat periwayat yang kedua dhabit adalah (1) kuat ingatan dan kuat pula hafalannya, tidak pelupa, (2) memelihara hadist, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, ketika ia meriwayatkan hadist berdasarkan buku catatannya atau sama dengan catatan ulama yang lain (dhabit al-kitab)
Pada kurun tabi’in dan at-tabi’in, penelitian Hadist dilakukan dengan mengacu kepada beberapa ketentuan bahwa hadist dapat diterima jika; 1) diriwayatkan oleh orang yang tsiqah; 2) baik dalam shalat dan akhlaknya; 3) dikenal memiliki pengetahuan hadist. Sebaliknya, hadist tidak dapat diterima jika; 1) perawinya tidak tsiqah; 2) suka berdusta dan mengikuti hawa nafsu; 3) tidak memahami hadist yang diriwayatkannya; 4) orang yang ditolak kesaksiannya7.
 

6 Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadist, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persaada, 2004, hlm., 43
7 Asy-Syafi’i belum merumuskan penelitian hadist secara terperinci, namun dia sudah mengajukan pedoman dalam melakukan penelitian hadis yang mencangkup sanad dan matan. Lihat;  Dr. H. Said Agil Husain al-Munawar, M.A., Ilmu Hadis, Jakarta, Gaya Media Pertama, 1996, hlm., 103
Menurut al-Nawawiy (wafat 676 H = 1277 M) yang dikutip oleh syuhudi Ismail persyaratan hadist shahih adalah; (1) rangkaian periwayat dalam sanad hadist itu harus bersambung dari periwayat pertama sampai periwayat terakhir; (2) para periwayat dalam sanad hadist itu haruslah orang – orang yang dikenal tsiqah dalam arti adil dan dhabith; (3) hadist itu terhindar dari cacat (‘illat) dan kejanggalan (syudzudz); (4) para periwayat yang terdekat dalam sanad harus sezaman8.
2.      Kaidah – Kaidah dalam Kritik Matan
Dalam kaidah – kaidah kritik matan ini ada dua macam yakni terhindar dari syuzuz dan terhindar dari illat. Banyak ulama hadist yang berbeda pendapat dalam mengatagorikan hadist shahih seperti; Al-Khatib Al-Bagdadi (wafat 463 = 1072 M) mengatakan bahwa hadist maqbul (diterima) sebagai matan hadist yang shahih apabila memenuhi unsur – unsur sebagai berikut :
1)      Tidak bertentangan dengan akal sehat
2)      Tidak bertentangan dengan hukum Al-Qur’an yang telah muhkam (ketentuan hukum telah tetap)
3)      Tidak bertentangan dengan hadist mutawatir
4)      Tidak bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama masa lalu (ulama salaf)
5)      Tidak bertentangan dengan dalil yang pasti
6)      Tidak bertentangan dengan hadist Ahad yang kualitas keshahihannya lebih kuat9
Itulah beberapa tolak ukur sebuah hadist, maka dari itu tidaklah dikatakan hadist shahih apabila matannya bertentangan dengannya. Sekiranya ada, maka matan hadist tersebut tidak dapat dikatakan matan hadist shahih.
Ibn Al-Jawzi (wafat 597 H = 210 M) memberikan tolak ukur keshahihan matan secara singkat yaitu; setiap hadist yang bertentangan dengan akal ataupun berlawanan dengan ketentuan pokok agama, pasti tergolong hadist mawdhu’,

 

8 Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Jakarta, Bulan Bintang, 1995, hlm., 123
9 Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadist, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persaada, 2004, hlm., 63
Karena Nabi Muhammad Saw. tidak mungkin menetapkan sesuatu yang bertentangan dengan akal sehat, demikian pula terhadap ketentuan pokok agama, seperti menyangkut aqidah dan ibadah.
Menurut Al-Din Al-Adabi yang dikutip oleh Bustamin dan M. Isa. H. A. Salam mengambil jalan tengah diantara dua pendapat diatas, mengatakan bahwa kriteria keshahihan matan ada empat yaitu;
1)      Tidak bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an
2)      Tidak bertentangan dengan hadist yang kualitasnya lebih kuat
3)      Tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan sejarah
4)      Susunan pertanyaannya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian10
Sedangkan menurut jumhur ulama tanda – tanda matan hadist yang palsu ialah;
1)      Susunan bahasanya rancu
2)      Isinya bertentangan dengan akal yang sehat dan sangat sulit diinterprasikan secara rasional
3)      Isinya bertentangan dengan tujuan pokok agama Islam
4)      Isinya bertentangan dengan hukum dan sunnatullah
5)      Isinya bertentangan dengan sejarah pasti
6)      Isinya bertentangan dengan petunjuk Al-Qur’an ataupun hadist mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti
7)      Isinya berada diluar kewajaran diukur dari petunjuk umum ajaran Islam11.
Sedang menurut Muhammad Al-Ghazali menetapkan tujuh kriteria keshahihan matan hadist;
1)      Matan Hadist sesuai dengan Al-Qur’an
2)      Matan Hadist sejalan dengan matan hadist shahih lainnya
3)      Matan Hadist sejalan dengan fakta sejarah
4)      Redaksi matan hadist menggunakan bahasa Arab yang baik



 

10 ibid., hlm., 64
11 Drs. H. Muhammad Ahmad, Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2004, hlm., 130
5)      Kandungan matan hadist sesuai dengan prinsip-prinsip umum ajaran agama Islam
6)      Hadist itu tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya)
7)      Hadist tersebut harus bersih dari ‘illat qadhihah (yakni cacat yang diketahui oleh para ahli hadist, sedemikian sehingga mereka menolaknya)12

D.    WAKTU PENELITIAN HADIST
Karena Hadist adalah merupakan salah satu sumber ajaran Islam serta sebagai keterangan dari Al-Quar’an yang bersifat umum, maka tidaklah sembarangan mengadakan penelitian terhadap hadist. Oleh karena itu, selain syarat – syarat yang ada pada hadist yang akan diteliti haruslah sesuai dengan katagori hadist shahih, seseorang yang akan meneliti sebuah hadist (menurut Muhammad Al-Ghazali) haruslah ;
Pertama, ia haruslah memahami Al-Qur’an dan cabang – cabang Ilmunya secara mendalam. Hal ini penting karena Al-Qur’an merupakan referensi pokok dalam Islam. Untuk mengetahui hak – hak dan kewajiban – kewajiban seorang muslim harus bertolak dari petunjuk Al-Qur’an. Selain itu, hadist juga merupakan penjabaran (keterangan) dari Al-Qur’an yang lebih bersifat umum.
Kedua, Ia harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang riwayat – riwayat dan matan hadist. Keahlian tersebut penting bukan hanya untuk mengetahui ketersambungan sanadnya, tetapi juga untuk mengetahui kualitas individu – individu yang ikut serta dalam periwayatan hadist tersebut. Selai itu juga untuk mengetahui kualitas matan sebuah hadist.
Ketiga, Ia harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hal dan peristiwa yang melingkupi kemunculan suatu hadist, sehingga ia dapat memposisikan hadist dihadapan Al-Qur’an secara proposional13.



12 Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi Kritik Hadist, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persaada, 2004, hlm., 104
13 ibid., hlm., 105
Setelah itu menurut penulis dalam hubungannya dengan pelaksanaan kegiatan kritik sanad dan kritik matan hadist, maka kritik sanad dilakukan terlebih dahulu sebelum kegiatan kritik matan. Langkah itu dapat dipahami agar tidak melihat latar belakang sejarah periwayatan dan penghimpunan hadist serta untuk memudahkan bagi peneliti hadist. Sebab apabila sanadnya tidak dapat diterima, maka sudah dapat dipastikan bahwa hadistnya mawdhu’ meskipun matannya dapat diterima.
Oleh karena itu dapat dipahami mengapa Imam Al-Nawawi (wafat 676 H = 1277 M) yang dikutip oleh Muhammad Ahmad mengatakan bahwa hubungan hadist dengan sanadnya bagai hubungan hewan dengan kakinya14
















14 Drs. H. Muhammad Ahmad, Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2004, hlm., 130





ANALISIS

            Menurut penulis sangatlah perlu diadakan penelitian sanad dan matan hadist karena telah banyak timbul hadist – hadist palsu sebelum diadakan pengumpulan hadist yaitu pada zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib. Selain itu juga untuk mengantisipasi berkembangnya hadist palsu tersebut.
            Mengenai bagian – bagian hadist yang harus diteliti terlebih dahulu adalah sanad hadist haruslah diteliti terlebih dahulu sebelum meneliti matan hadist. Itu semua untuk menghindari agar tidak melihat latar belakang periwayatan dan penghimpunan hadist.
            Oleh karena hadist adalah sumber ajaran agama Islam yang mempunyai kedudukan kedua setelah Al-Qur’an, maka tidak semua orang dapat meneliti hadist, orang yang akan meneliti hadist haruslah orang yang paham Al-Qur’an (sebab hadist adalah penjabaran/keterangan dari Al-Qur’an), orang yang tahu ilmu – ilmu Al-Qur’an dan hadist (agar tidak tersesat dalam penelitian hadist), serta orang yang mengetahui dengan benar sejarah hadist (agar tidak bertolak belakang dengan Al-Qur’an dan sejarah). Selain itu orang yang akan meneliti hadist haruslah didasari niat yang benar, bukan karena kepentingan pribadi, politik dan lainnya.
            Oleh karena itu penulis sangat tidak setuju dengan penelitian sanad dan matan hadist yang didasari oleh sesuatu yang bersifat keduniawian, sebab niat adalah sesuatu yang sangatlah berpengaruh terhadap hasil yang akan diperoleh.











BAB III
PENUTUP

            Dari makalah yang telah kami uraikan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa penelitian sanad dan matan hadist sangatlah perlu dilakukan karena menurut sejarah hadist pada zaman Nabi Muhammad Saw. Hadist belum ditulis dan dibukukan, setelah zaman Nabi Muhammad Saw. terjadi banyak pemalsuan hadist, serta pengumpulan hadist secara massal dilakukan setelah banyaknya pemalsuan hadist tersebut. Dengan kata lain, sangatlah mungkin hadist – hadist palsu itu masih ada sampai sekarang ini, makanya sangatlah penting penelitian ini.
            Bagian – bagian yang harus diteliti adalah sanad (terlebih dahulu) yang mempunyai syarat – syarat tertentu yang telah dikutip diatas sebagai syarat hadist shahih. Setelah itu matan hadist juga perlu diteliti, sebab matan (isi) hadist tidak mungkin berlawanan dengan Al-Qur’an dan bertentangan dengan akal. Sebab mustahil bagi Rasul mengungkapkan sesuatu diluar nalar manusia.
            Sedangkan mengenai seorang yang akan meneliti sebuah hadist juga perlu diadakan syarat – syarat tertentu demi meminimalisir terjadinya penelitian yang asal – asalan. Diantaranya sang peneliti haruslah paham dan ‘alim terhadap Al-Qur’an dan Al-Hadist serta Ilmu-Ilmu yang berkaitan dengan itu.




DAFTAR PUSTAKA

-          Bustamin, Salam, A, H, Isa, M, Metodologi Kritik Hadis ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004 )
-          Prof, Dr, Ismail, Syuhudi, M, H, Kaedah Kasahihan Sanad Hadis ( Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1995 )
-          Drs, Ahmad, Muhammad, H, Drs, Mudzakir, M, Ulumul Hadis ( Bandung : Pustaka Setia, 2004 )
-          Dr, H, al-Munawar, Husain, Agil Said, M, A, Ilmu Hadis ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 1996 )
Silahkan dibagikan keteman Via


Artikel Terkait :

0 Kommentare on Makalah Penelitian Sanad dan Matan (Takhrij) | Ulumul Hadist :

Silahkan berkomentar yang baik dan Jangan Spam !

Pengikut


Google+