Makalah Tinjauan Sosiologis terhadap Mekanisme Pembelajaran Harta dalam Perspektif Islam
Pendahuluan
Pendahuluan
Al-Qur'an
bagi kaum Muslimin diyakini bukan hanya kitab suci 'ansich' yang
bersifat pasif, tapi merupakan wahyu Allah kepada ummat manusia lewat
perantaraan Nabi Muhammad saw dan utusan 'ruh suci' Jibril yang berisi
kebenaran-kebenaran absolut dari Rabb al-Alamin Azza wa Jalla.1
Dengan demikian al-Qur'an dijadikan sebagai pedoman hidup bagi ummat
Islam dalam melakukan ibadah, muamalah dan pembinaan akhlaq.
Aspek
yang menarik untuk dikaji lebih mendalam ialah bagaimana nilai-nilai
Islami (syari'ah) dilaksanakan dalam berbagai sendi kehidupan,
salah satunya ialah mengenai pembelanjaan harta.
Harta
sebagai salah satu amanah yang diberikan oleh Allah kepada ummat
manusia harus disyukuri dalam parameter nilai-nilai Islami. Pertanyaan
yang segera muncul ialah jika berkaitan dengan masalah pembagian harta,
bagaimana mekanismenya? Kalau sasarannya ialah 'optimalisasi
pembelanjaan harta' sementara secara realitas timbul kesenjangan sosial;
salah satunya di Indonesia dengan kondisi masyarakat mayoritas Islam.
Fenomena
distribusi harta merupakan suatu makna yang sangat menarik untuk dikaji
sebagai upaya untuk mengarahkan pada solusi dari permasalahan
kesenjangan sosial terutama dalam struktur sosial masyarakat Indonesia.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi (content analysis)2, yaitu analisis terhadap makna yang terkandung dalam suatu ayat dengan melalui pendekatan sosiologis.
Prinsip dalam Distribusi Harta
Prinsip utama yang menentukan dalam distribusi harta ialah keadilan dan kasih sayang. Tujuan pendistribusian meliputi:
Pertama, agar kekayaan tidak menumpuk pada sebagian kecil masyartakat, tetapi selalu beredar dalam masyarakat.
Kedua, pelbagai faktor produksi yang perlu mempunyai pembagian yang adil dalam kemakmuran negara.
Pertama, agar kekayaan tidak menumpuk pada sebagian kecil masyartakat, tetapi selalu beredar dalam masyarakat.
Kedua, pelbagai faktor produksi yang perlu mempunyai pembagian yang adil dalam kemakmuran negara.
Pengertian
dari pembersihan jiwa dalam dataran doktrin diimbangi dengan
pertimbangan keadilan untuk mewujudkan suatu sistem kehidupan yang
sejahtera. Islam menghendaki kesamaan di kalangan manusia di dalam
perjuangannya untuk mendapatkan harta tanpa memandang perbedaan kelas,
kepercayaan atau warna kulit.3
Tujuan
utama Islam ialah memberikan peluang yang sama kepada semua orang dalam
perjuangan ekonomi tanpa membedakan status sosialnya, di samping itu
Islam tidak membenarkan perbedaan kehidupan lahiriah yang melampaui
batas dan berusaha mempertahankannya dalam batasan-batasan yang wajar
dan seksama. Dalam rangka mengontrol pertumbuhhan dan penimbunan harta
kekayaan, Islam mencegah terjadinya penimbunan dan menolong setiap orang
untuk membelanjakannya demi kebaikan masyarakat.4
Pesan al-Qur'an di dalam surat al-Isra ayat 16: "Dan
jika Kami hendaki membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah)
tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah
sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian
Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (Qs.17:16)
Firman
Allah di atas merupakan hukum Allah terhadap orang-orang yang
bermewah-mewahan tanpa memberikan kewajiban kepada yang berhak
menerimanya. Pola hidup yang dijalankan atas dasar
bermewah-mewahan dalam dataran mencapai tujuannya tidak
segan-segan menindas golongan miskin dan lemah untuk
maksudnya yang individualistis, oleh karena itu orang hanya kaya
bertambah kaya dan orang miskin akan semakin miskin, alur dari
problematika tersebut akan memporak-porandakan keutuhan
masyarakat.
Perintah Allah dalam Pembelanjaan Harta
"Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di
jalan Allah ialah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh
butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (Qs.2:161)
Pesan
yang sangat indah dari ayat di atas seharusnya merupakan dorongan bagi
ummat Islam untuk menafkahkan hartanya. Dalam dataran sosial, refleksi
ayat ini apabila diimplementasikan pada kehidupan masyarakat akan
membawa ketenangan dan ketentraman bermasyarakat.
Kontribusi
menafkahkan sebahagian harta di jalan Allah mencakup banyak
aspek meliputi perhatian terhadap pengentasan kemiskinan,
peningkatan kualitas pendidikan, pembangunan rumah sakit dan
sarana sosial lainnya. (Selanjutnya lihat al-Qur'an 16:71, 24:22, 25:67, 57:7, 59:9, 64:16, 74:6, 92:17-21, 2:273-274, 2:177, 17:26, 70:19-27, 90:12-16).
Infaq dan shadaqah sebagai suatu anjuran mencakup aspek ubudiyah dalam upaya untuk taqarub illallah
(mendekatkan diri kepada Allah) dan aspek sosial untuk meningkatkan
kerukunan hidup bermasyarakat. Dalam dataran realitas, menafkahkan harta
mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia apabila diimbangi
dengan kesadaran dan pengelolaan yang baik. Selain menafkahkan harta
(infaq, shadaqah) hal yang terpenting dalam Islam ialah adanya kewajiban
zakat yang telah diatur mekanismenya dalam syari'ah. Kesadaran untuk
menunaikan zakat serta pengelolaan yang baik merupakan sarana jitu untuk
membangun bangsa dalam proses mengentaskan kemiskinan.
Islam
menyuruh semua orang yang mampu bekerja dan berusaha untuk
mencari rezeki dan menutupi kebutuhan diri dan keluarganya. Hal
itu dilakukan dengan niat fi sabilillah. Namun, tidak semua
orang mampu bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya,
bagaimana dengan orang-orang yang lemah seperti anak kecil,
anak yatim, wanita janda, dan yang sudah uzur? Apa yang dapat
dilakukan oleh orang yang mampu bekerja dan berusaha tetapi
tidak memperoleh kesempatan? Apa pula yang akan diperbuat
oleh orang yang sudah bekerja tetapi penghasilannya tidak
memadai? Apakah mereka dibiarkan dalam kemiskinan dan dihimpit
kemelaratan? Sementara di sisi lain, di antara masyarakat ada
yang berkecukupan bahkan berlebih-lebihan.
Islam
menjawab permasalahan tersebut dengan adanya suatu aturan yang sangat
teratur, serasi dan seimbang. Salah satu mekanisme pengentasan
kemiskinan ialah realisasi zakat dalam pengelolaan yang benar. Secara
sangat sistematis al-Qur'an memberikan gambaran dalam surat at-Taubah
ayat 60:
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qs.9:60)
"Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (Qs.9:60)
Dalam
pembahasan ayat di atas, zakat diberikan pada orang-orang yang berhak
mendapatkannya meliputi fakir, miskin, amil, muallaf, gharim, ibnu sabil
dan fisabilillah. Apabila dikelola secara amanah dan profesional
memberikan kontribusi yang tidak sedikit (Selanjutnya lihat al-Qur'an 9:103, 2:26, 6:141-142, 9:34-35, 17:26).
Larangan dalam Pembelanjaan Harta
"Maka
terbenamlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi, maka tidak ada
baginya suatu golongan pun yang menolongnya terhadap azab Allah dan
tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya)." (Qs.28:81)
Ayat
di atas merupakan salah satu bukti keserakahan akibat dari terlalu
cinta terhadap harta sehingga lupa bahwa harta merupakan amanat Allah
dan dari sebagian harta tersebut terdapat kewajiban-kewajiban yang harus
dipenuhi. Fenomena Karun, apabila dicermati lebih mendalam merupakan
salah satu contoh riil dari kecintaan secara berlebihan terhadap harta
yang mengarahkan pada suatu keyakinan bahwa hartanya dapat mengekalkan
kehidupannya.
Secara
bijaksana al-Qur'an telah menginformasikan suatu larangan berdimensi
sosial untuk kesejahteraan manusia agar harta tidak hanya dimiliki oleh
segelintir orang saja. Larangan dalam pembelanjaan harta melingkupi tiga
(3) macam, antara lain:
Pertama, larangan bersikap kikir/bakhil dan menumpuk harta. Kesadaran untuk membantu penderitaan yang dialami orang-orang yang kekurangan sangat mendapatkan porsi yang besar di dalam Islam. Keseimbangan yang diciptakan Allah dalam bentuk aturan-aturan yang bersifat komprehensif dan universal yaitu al-Qur'an dalam konteks hubungan sosial, apabila diimplementasikan dengan mengambil suri teladan para Nabi dan Rasul dan orang-orang beriman masa lalu membawa dampak terhadap distribusi pemerataan tingkat kesejahteraan.
Pertama, larangan bersikap kikir/bakhil dan menumpuk harta. Kesadaran untuk membantu penderitaan yang dialami orang-orang yang kekurangan sangat mendapatkan porsi yang besar di dalam Islam. Keseimbangan yang diciptakan Allah dalam bentuk aturan-aturan yang bersifat komprehensif dan universal yaitu al-Qur'an dalam konteks hubungan sosial, apabila diimplementasikan dengan mengambil suri teladan para Nabi dan Rasul dan orang-orang beriman masa lalu membawa dampak terhadap distribusi pemerataan tingkat kesejahteraan.
Sikap kikir sebagai salah satu sifat-sifat buruk manusia (lihat Qs.70:19)
harus dikikis dengan menumbuhkan kesadaran bahwa harta adalah amanah
Allah swt yang harus dibelanjakan sebahagian dari harta tersebut kepada
orang-orang yang berhak mendapatkannya.
Larangan
kikir terhadap harta membuktikan kurangnya nilai kepekaan sosial,
padahal manusia sebagai makhluk sosial (homo_homini_lupus) tidak hanya
hidup sendiri tetapi membutuhkan pertolongan orang lain walaupun tidak
secara langsung terjadi interaksi.
Sikap
kikir akan mengarahkan manusia pada kategori orang-orang yang sombong
dan membanggakan diri, dengan menganggap harta yang dimiliki hasil dari
jerih payah sendiri tanpa sedikitpun bantuan pihak lain, padahal Allah
swt sebagai Pemilik semesta alam beserta isinya termasuk harta yang
dimiliki manusia. Firman Allah swt di dalam surat al-Hadiid ayat 23-24:
"....Dan Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri, (yaitu) orang-orang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir...." (Qs.57:23-24).
Label
sombong yang diberikan oleh Allah swt kepada orang-orang yang kikir,
kalau ditelaah lebih jauh lagi membawa paradigma baru (pelaksanaan
nilai-nilai Islami) menuju pemerataan kesejahteraan dengan meninggalkan
paradigma lama (sikap kikir). Selanjutnya lihat Qs. 4:36-37, 3:180, 9:34-35, 70:15-18, 92:8-11, dan 47:36-38).
Sikap
kikir tumbuh dari perilaku menumpuk-numpuk harta dan menghitung-hitung
harta tersebut serta mempunyai anggapan bahwa harta tersebut dapat
mengekalkan hidupnya. Ada sebuah peringatan dalam al-Qur'an yang
berbunyi: "Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela, yang
mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira hartanya itu
dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar
akan dilemparkan ke dalam huthanah." (Qs.104:1-4).
Kedua, larangan berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan. "Hai
anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap (memasuki) mesjid,
makan, minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan." (Qs.7:31)
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur." (Qs.102:1-2)
"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu sampai kamu masuk ke dalam kubur." (Qs.102:1-2)
Kedua ayat di atas secara tegas memberikan arahan untuk menghindari sikap berlebih-lebihan dan bermegah-megahan dalam hidup.
Fenomena
zaman di tengah badai krisiS yang melanda bangsa Indonesia
sangat tepat untuk mengimplementasikan larangan berlebih-lebihan
dan bermegah-megahan. Paradigma sikap hidup berlebih-lebihan dan
bermegah-megahan di tengah kondisi sosial masyarakat yang
serba kekurangan, membawa dampak kecemburuan sosial dan
terbentuknya pengkotak-kotakan struktur sosial masyarakat.
Tanpa
landasan aqidah yang kuat pada struktur sosial masyarakat, menimbulkan
dampak timbulnya kriminalitas disebabkan adanya kesenjangan sosial yang
kian menguat. Terjadinya pemborosan-pemborosan di satu sisi sebagai
salah satu pengaruh 'pola hidup konsumtif' dan di sisi lain tingkat
kemiskinan semakin bertambah besar. Secara realistis fenomena tersebut
menimbulkan dua struktur sosial yang saling kontradiktif, apabila tidak
dilakukan upaya-upaya penyelesaian akan mengarah pada kekecewaan sosial
yang merupakan bentuk lebih jauh dari kecemburuan sosial. Problematika
tersebut kian meruncing karena semakin menipisnya tingkat 'kepercayaan'
pada pemerintahan dan semua lini kehidupan akan terakumulasi menjadi
'revolusi sosial' yang membawa dampak terhadap kestabilan bangsa dan
negara.
Secara tidak langsung al-Qur'an telah mengajak berdialog dalam sebuah ayat antara lain: "Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithan dan syaithan itu ialah sangat ingkar kepada Tuhannya." (Qs.17:27)
Nasehat
tersebut apabila direfleksikan dalam kehidupan modern dewasa
ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam upaya
menciptakan ketentraman dan keamanan berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya lihat Qs. 46:20, 3:14, 18:28, 28:77-78, 34:34-37, 57:20, 89:20, 3:10.
Pembahasan
mengenai berlebih-lebihan dan bermewahan-mewahan dalam penggunaan harta
sangat terkait dengan konsumsi hidup yang mencakup kebutuhan sandang,
pangan, papan, secara spesifik al-Qur'an telah memberikan suatu nasehat
yang sangat berharga yaitu: "Maka makanlah yang halal lagi baik dari
rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah
jika hanya kepada-Nya saja kamu menyembah." (Qs.16:114)
Cakupan pembahasan di atas merupakan larangan mengkonsumsi makanan-makanan yang diharamkan termasuk di dalamnya khamr (lihat Qs.5:90-93),
larangan mengkonsumsi bangkai, darah, babi, binatang yang disembelih
disebut selain nama Allah, hewan yang dicekik, dipukul, jatuh, ditanduk
dan jenis makanan lainnya yang telah ditetapkan syari'ah (selanjutnya
lihat Qs.5:3-4, 5:96, 2:168, 2:173, 7:32, 5:90).
Ketiga, larangan riba. "Orang
yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaithan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang
yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (Qs.al-Baqarah:275)
Penegasan
yang sangat jelas dari ayat di atas memberikan penjelasan mengenai
larangan riba dalam realisasi sistem perekonomian. Riba patut
mendapatkan porsi pembelanjaan harta karena sangat berkaitan dengan
praktek-praktek yang telah berjalan pada penggunaan harta dalam
masyarakat. Riba terdiri dari 2 (dua) macam yaitu nasiah dan fadhl.
Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang
meminjamkan sedangkan riba fadhl adalah penukaran suatu barang dengan
barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena yang
menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas,
padi dengan padi dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini
adalah riba nasiah yang berlipat ganda dan umum terjadi dalam masyarakat
Arab jahiliyah.5 (Selanjutnya lihat Qs.2:276-279, 3:130-131, 30:39, 4:161).
Keempat, yaitu larangan riya. "Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan sipenerima),
seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan
dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang
itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu
ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka
tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir." (Qs.2:264)
Ayat di atas merupakan peringatan dari al-Qur'an agar dalam beramal tidak diiringi dengan riya.
Riya merupakan penyakit yang harus segera diobati dengan menghilangkan
sikap riya tersebut. Amal orang-orang yang riya akan membawa kerugian
karena amalan-amalan tersebut tidak mendapatkan pahala di sisi Allah.
Riya
ialah melakukan suatu amalan perbuatan bukan untuk mencari
keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian dan kemashuran dalam
masyarakat. Dalam dataran pembelanjaan harta, riya sangat merusak
keharmonisan hubungan antar manusia (human relation)
karena akan menyebabkan dua kerugian yaitu kerugian terhadap
penerima harta tersebut dan pemberi itu sendiri. Bagi
penerima kerugian yang diterima ialah perasaan 'sakit',
sedangkan bagi pemberi akan menyebabkan kerugian berupa hampanya amal
dari pemberian harta tersebut. (Selanjutnya lihat Qs.8:47, 4:38, 3:18, 107:6).
0 Kommentare on Makalah Tinjauan Sosiologis terhadap Mekanisme Pembelajaran Harta dalam Perspektif Islam :
Silahkan berkomentar yang baik dan Jangan Spam !