Prinsip Prinsip dasar Fiqih Muamalah - Menyimak pagi bersama khasnya
aktivitas awalan: sang pedagang dengan lapaknya, sang karyawan dengan
berkasnya, mahasiswa dengan makalahnya, pengangguran dengan harapannya,
tukang rumput dengan guntingnya, nelayan dengan lautnya, petani dengan
musim tanamnya, polantas dengan peluitnya, pengacara dengan kasusunya,
dan lain-lain.
Itulah
gambaran umum tentang muamalah. Interaksi manusia dengan segala
tujuannya untuk memenuhi kebutuhan keduniaan. Interaksi ini diatur
dalam Islam dalam Fiqh Muamalat. Berbeda halnya dengan Fiqh Ibadah,
Fiqh Muamalat bersifat lebih fleksibel dan eksploratif. Hukum semua
aktifitas itu pada awalnya adalah boleh selama tidak ada dalil yang
melarangnya, inilah kaidah ushul fiqhnya. Fiqh Muamalat pada awalnya
mencakup semua aspek permasalahan yang melibatkan interaksi manusia,
seperti pendapat Wahbah Zuhaili, hukum muamalah itu terdiri dari hukum
keluarga, hukum kebendaan, hukum acara, perundang-undangan, hukum
internasional, hukum ekonomi dan keuangan. Tapi, sekarang Fiqh Muamalat
dikenal secara khusus atau lebih sempit mengerucut hanya pada hukum
yang terkait dengan harta benda.
Begitu
pentingnya mengetahui Fiqh ini karena setiap muslim tidak pernah
terlepas dari kegiatan kebendandaan yang terkait dengan pemenuhan
kebutuhannya. Maka dikenallah objek yang dikaji dalam fiqh muamalat,[1] walau para fuqaha (ahli
fiqih) klasik maupun kontemporer berbeda-beda, namun secara umum fiqh
muamalah membahas hal berikut : teori hak-kewajiban, konsep harta,
konsep kepemilikan, teori akad, bentuk-bentuk akad yang terdiri dari
jual-beli, sewa-menyewa, sayembara, akad kerjasama perdagangan,
kerjasama bidang pertanian, pemberian, titipan, pinjam-meminjam,
perwakilan, hutang-piutang, garansi, pengalihan hutang-piutang, jaminan,
perdamaian, akad-akad yang terkait dengan kepemilikan: menggarap tanah
tak bertuan, ghasab (meminjam barang tanpa izin – edt), merusak, barang temuan, dan syuf’ah (memindahkan hak kepada rekan sekongsi dengan mendapat ganti yang jelas).
Setelah
mengenal secara umum apa saja yang dibahas dalam fiqh muamalat, ada
prinsip dasar yang harus dipahami dalam berinteraksi. Ada 5 hal yang
perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan
berinteraksi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi
yang dilakukan sah atau tidak, lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB,
yaitu Maisir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.[2]
1. Maisir
Menurut bahasa maisir berarti gampang/mudah. Menurut istilah maisir berarti memperoleh keuntungan tanpa harus bekerja keras. Maisir
sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian
seseorang dapat memperoleh keuntungan dengan cara mudah. Dalam
perjudian, seseorang dalam kondisi bisa untung atau bisa rugi. Padahal
islam mengajarkan tentang usaha dan kerja keras. Larangan terhadap
maisir / judi sendiri sudah jelas ada dalam AlQur’an (2:219 dan 5:90)
2. Gharar
Menurut bahasa gharar berarti pertaruhan. Terdapat juga mereka yang menyatakan bahawa gharar bermaksud syak atau keraguan.[3] Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar.
Boleh dikatakan bahwa konsep gharar berkisar kepada makna
ketidaktentuan dan ketidakjelasan sesuatu transaksi yang dilaksanakan,
secara umum dapat dipahami sebagai berikut :
- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
- Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak;
- Transaksi
itu dilaksanakan secara yang tidak jelas atau akad dan kontraknya
tidak jelas, baik dari waktu bayarnya, cara bayarnya, dan lain-lain.
Misalnya
membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang
masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat gharar. Atau kegiatan para spekulan jual beli valas.
3. Haram
Ketika
objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi nya
mnejadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.
4. Riba
Pelarangan riba telah dinyatakan dalam beberapa ayat Al Quran. Ayat-ayat mengenai pelarangan riba diturunkan secara bertahap. Tahapan-tahapan turunnya ayat dimulai dari peringatan secara halus hingga peringatan secara keras.
Tahapan turunnya ayat mengenai riba dijelaskan sebagai berikut :
Pertama, menolak anggapan bahwa riba tidak menambah harta justru mengurangi harta. Sesungguhnya zakatlah yang menambah harta. Seperti yang dijelaskan dalam QS. Ar Rum : 39 .
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”
Kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk dan balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan riba. Allah berfiman dalam QS. An Nisa : 160-161 .
“Maka disebabkan kelaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
Ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat ganda. Allah menunjukkan karakter dari riba dan keuntungan menjauhi riba seperti yang tertuang dalam QS. Ali Imran : 130.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
Keempat, merupakan tahapan yang menunjukkan betapa kerasnya Allah mengharamkan riba. QS. Al Baqarah : 278-279 berikut ini menjelaskan konsep final tentang riba dan konsekuensi bagi siapa yang memakan riba.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
5. Bathil
Dalam
melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada
kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus
sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi
yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan
diharap agar bisa tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan,
ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurangi timbangan tidak
dibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti menggunakan barang tanpa izin,
meminjam dan tidak bertanggungjawab atas kerusakan harus sangat
diperhatikan dalam bermuamalat.
[1] Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (ciputat : UIN jakarta Press, 2005), cet.1, h. 5
[2] http://khairilmuslim.wordpress.com/2011/04/04/208
[3] http://mahir-al-hujjah.blogspot.com/2009/08/gharar-riba-dan-maisir-di-dalam.html
0 Kommentare on Prinsip Prinsip dasar Fiqih Muamalah :
Silahkan berkomentar yang baik dan Jangan Spam !