PENILAIAN HASIL BELAJAR
KATA PENGANTAR
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) Nomor 12 Ta-hun 2007 tentang Standar Pengawas
Sekolah/Madrasah berisi standar kualifi-kasi dan kompetensi pengawas sekolah.
Standar kualifikasi menjelaskan per-syaratan akademik dan nonakademik untuk
diangkat menjadi pengawas seko-lah. Standar kompetensi menjelaskan seperangkat
kemampuan yang harus di-miliki dan dikuasai
pengawas sekolah untuk dapat melaksanakan tugas pokok, fungsi, dan
tanggung jawabnya.
Ada enam dimensi kompetensi
yang harus dikuasai pengawas sekolah yakni: (a) kompetensi kepribadian, (b)
kompetensi supervisi manajerial, (c) kompetensi
supervisi akademik, (d) kompetensi evaluasi pendidikan, (e) kom-petensi
penelitian dan pengembangan, dan (f) kompetensi sosial. Dari hasil uji
kompetensi di beberapa daerah menunjukkan kompetensi pengawas seko-lah masih
perlu ditingkatkan terutama dimensi kompetensi supervisi manaje-rial, supervisi
akademik, evaluasi pendidikan, dan kompetensi penelitian dan pengembangan.
Untuk itu diperlukan adanya diklat peningkatan kompetensi pengawas sekolah baik
bagi pengawas sekolah dalam jabatan, terlebih lagi bagi para calon pengawas
sekolah.
Materi dasar untuk semua dimensi kompetensi sengaja disiapkan agar dapat dijadikan rujukan oleh para pelatih dalam melaksanakan diklat pening-katan kompetensi pengawas sekolah di mana pun pelatihan tersebut dilakana-kan. Kepada tim penulis materi diklat kompetensi pengawas sekolah yang ter-diri atas dosen LPTK dan widya iswara dari LPMP dan P4TK kami ucapkan terima kasih. Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
Jakarta, Juni
2008
Direktur Tenaga
Kependidikan
Ditjen PMPTK
Surya Dharma,
MPA., Ph.D
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
............................................................................ i
DAFTAR ISI
.......................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang ……………………………………………. 1
B.
Dimensi
Kompetensi ……………………………………… 1
C.
Kompetensi
yang Hendak Dicapai ………………………... 1
D.
Indikator
Pencapaian Kompetensi ………………………… 2
E.
Alokasi
Waktu …………………………………………….. 2
F.
Skenario …………………………………………………… 2
BAB II PENILAIAN HASIL BELAJAR
A.
Pengertian, Fungsi, Tujuan dan Prinsip Penilaian Ha-
sil Belajar
............................................................................. 4
B.
Jenis, Standar Penilaian, dan Cara Penskoran ..................... 8
C.
Ranah Penilaian Hasil Belajar ............................................. 11
D.
Alat Penilaian Hasil Belajar ................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA
............................................................................ 24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penilaian hasil
belajar merupakan aktivitas yang sangat penting dalam proses pendidikan. Semua
proses di lembaga pendidikan formal pada akhir-nya akan bermuara pada hasil
belajar yang diwujudkan secara kuantitatif be-rupa nilai.
Hasil belajar
siswa tidak selalu mudah untuk dinilai. Sebagaimana dike-tahui, tujuan
pembelajaran meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah pengetahuan
(kognitif) dan sikap (afektif) relatif sulit untuk diamati, meski pun dapat
diukur. Oleh karena itu, dalam proses penilaian hasil belajar langkah yang
pertama harus dimulai dari perumusan tujuan pembelajaran yang memungkinkan
untuk diamati dan diukur (observable and measurable). Berangkat dari
tujuan pembelajaran yang dirumuskan, maka disusunlah ins-trumen untuk mengamati
dan mengukur hasil pembelajaran.
Dengan menggunakan
instrumen, diperoleh data yang mencerminkan ketercapaian tujuan pembelajaran
pada seorang peserta didik. Data ini selan-jutnya harus diolah dan dimaknai
sehingga menjadi informasi yang bermak-na. Selain itu berdasarkan data tersebut
penilai dapat membuat keputusan me-ngenai posisi atau status seorang peserta
didik, misalnya naik atau tidak naik kelas, lulus atau tidak dan sebagainya.
Seluruh proses penilaian hasil belajar
tentu harus dilakukan dengan cer-mat, mulai dari penyusunan instrumen,
pelaksanaan tes, pengolahan, sampai pada penetapan hasil akhir. Pada setiap
tahapan diperlukan keterampilan khu-sus yang perlu dipelajari. Tulisan ini bermaksud membekali pengawas untuk dapat membina para
guru dalam melaksanakan penilaian hasil belajar.
B. Dimensi Kompetensi
Dimenci kopetensi yang
hendak dikembangkan melalui materi pendi-dikan dan pelatihan ini adalah dimensi
evaluasi pendidikan.
C. Kompetensi yang Hendak Dicapai
Setelah menyelesaikan materi pelatihan ini, pengawas
diharapkan dapat
membimbing guru dalam menentukan aspek-aspek penting yang harus dinilai
oleh guru dalam pembelajaran.
D. Indikator
Pencapaian Kompetensi
Setelah mengikuti pelatihan ini pengawas diharapkan dapat:
1.
Memahami
pengertian, fungsi, tujuan dan prinsip
penilaian hasil belajar.
2. Memahami ranah penilaian hasil pelajar
3.
Menjelaskan
jenis-jenis penilaian, standar penilaian dan cara penskoran.
4.
Membimbing
guru dalam menyusun dan menerapkan alat-alat penilaian hasil belajar.
E. Alokasi Waktu
No.
|
Materi Diklat
|
Alokasi
|
1.
|
Pengertian,
fungsi, tujuan dan prinsip penilaian
hasil belajar
|
1 jam
|
2.
|
Ranah
penilaian hasil pelajar
|
1 jam
|
3.
|
Jenis-jenis
penilaian, standar penilaian dan cara penskoran
|
1 jam
|
4.
|
Penyusunan
dan penerapan alat-alat penilaian hasil belajar.
|
1 jam
|
F. Skenario
1. Perkenalan
2. Penjelasan tentang dimensi kompetensi, indikator, alokasi
waktu dan ske-nario pendidikan dan pelatihan penilaian hasil belajar.
3. Pre-test
4. Eksplorasi pemahaman peserta berkenaan dengan penilaian hasil belajar sekolah melalui
pendekatan andragogi.
5. Penyampaian
Materi Diklat.
a. Menggunakan
pendekatan andragogi, yaitu lebih mengutamakan pe-ngungkapan kembali pengalaman
peserta pelatihan, menganalisis, me-nyimpulkan,
dan mengeneralisasi dalam suasana diklat yang aktif, ino-vatif, kreatif,
efektif, menyenangkan, dan bermakna. Peranan pelatih lebih sebagai fasilitator.
b. Diskusi tentang indikator keberhasilan pelatihan penilaian hasil belajar.
c. Praktik menyusun
instrumen penilaian hasil belajar.
6. Post test.
7. Refleksi bersama antara peserta dengan
pelatih mengenai jalannya pelatihan.
8. Penutup
BAB II
PENILAIAN HASIL BELAJAR
A. Pengertian, Fungsi, Tujuan dan
Prinsip Penilaian Hasil Belajar
1. Pengertian Penilaian Hasil Belajar
Ditinjau dari sudut bahasa, penilaian
diartikan sebagai proses menentu-kan nilai suatu objek. Untuk dapat menentukan suatu nilai atau harga
suatu objek diperlukan adanya ukuran atau kriteria. Misalnya untuk dapat
mengata-kan baik, sedang, kurang, diperlukan adanya ukuran yang jelas bagaimana
yang baik, yang sedang, dan yang kurang. Ukuran itulah yang dinamakan kri-teria.
Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa ciri penilaian adalah adanya
objek atau program yang dinilai dan adanya kriteria sebagai dasar un-tuk
membandingkan antara apa yang dicapai dengan kriteria yang harus dica-pai.
Perbandingan bisa bersifat mutlak, bisa pula bersifat relatif.
Perbandingan bersifat mutlak
artinya hasil perbandingan tersebut meng-gambarkan posisi objek yang dinilai
ditinjau dari kriteria yang berlaku. Se-dangkan perbandingan yang bersifat
relatif artinya hasil perbandingan lebih menggambarkan posisi suatu objek yang
dinilai terhadap objek lainnya de-ngan bersumber pada kriteria yang sama.
Dengan demikian, inti penilaian adalah proses mementukan nilai suatu objek
tertentu berdasarkan kriteria ter-tentu. Proses pemberian nilai tersebut
berlangsung dalam bentuk interpretasi yang diakhiri dengan judgment. Interpretasi
dan judgment merupakan tema penilaian
yang mengimplikasikan adanya suatu perbandingan antara kriteria dan kenyataan
dalam konteks situasi tertentu. Atas dasar itu maka dalam ke-giatan penilaian
selalu ada objek/program yang dinilai, ada kriteria, dan ada interpretasi/judgment.
Penilaian hasil belajar adalah
proses pemberian nilai terhadap hasil-ha-sil belajar yang dicapai siswa dengan
kriteria tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa objek yang dinilainya adalah
hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan
tingkah laku. Tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas
mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotoris. Oleh sebab itu, dalam
penilaian hasil belajar rumusan kemam-puan dan tingkah laku yang diinginkan
dikuasai siswa (kompetensi) menjadi unsur penting sebagai dasar dan acuan
penilaian. Penilaian proses pebelajaran adalah upaya memberi nilai terhadap
kegiatan belajar mengajar yang dilaku-kan oleh siswa dan guru dalam mencapai
tujuan-tujuan pengajaran.
2. Fungsi Penilaian Hasil Belajar
Tujuan pembelajaran pada hakikatnya
adalah perubahan tingkah laku pada diri siswa. Oleh sebab itu dalam penilaian
hendaknya diperiksa sejauh mana perubahan tingkah laku siswa telah terjadi
melalui proses belajarnya. Dengan mengetahui tercapai tidaknya tujuan
pembelajaran, dapat diambil tin-dakan perbaikan proses pembelajaran dan
perbaikan siswa yang bersangkut-an. Misalnya dengan melakukan perubahan dalam
strategi mengajar, membe-rikan bimbingan dan bantuan belajar kepada siswa.
Dengan perkataan lain, hasil penilaian tidak hanya bermanfaat untuk mengetahui
tercapai tidaknya perubahan tingkah laku siswa, tetapi juga sebagai umpan balik
bagi upaya memperbaiki proses pembelajaran.
Dalam penilaian ini dilihat sejauh
mana keefektifan proses pebelajaran dalam mengupayakan perubahan tingkah laku
siswa. Oleh sebab itu, penilai-an hasil dan proses belajar saling berkaitan
satu sama lain sebab hasil belajar yang dicapai siswa merupakan akibat dari
proses pembelajaran yang ditem-puhnya (pengalaman belajarnya). Sejalan dengan
pengertian diatas maka pe-nilaian berfungsi sebagai berikut:
a. Alat untuk mengetahui
tercapai-tidaknya tujuan pembelajaran. Dengan fungsi ini maka penilaian harus
mengacu pada rumusan-rumusan tujuan pembelajaran sebagai penjabaran dari
kompetensi mata pelajaran.
b. Umpan balik bagi perbaikan
proses belajar-mengajar. Perbaikan mungkin dilakukan dalam hal tujuan
pembelajaran, kegiatan atau pengalaman bela-jar siswa, strategi pembelajaran
yang digunakan guru, media pembelajar-an, dll.
c. Dasar
dalam menyusun laporan kemajuan belajar siswa kepada para orang tuanya. Dalam laporan tersebut dikemukakan
kemampuan dan kecakapan belajar siswa dalam berbagai bidang studi atau mata
pelajaran dalam ben-tuk nilai-nilai prestasi yang dicapainya.
3. Tujuan Penilaian Hasil Belajar
Sejalan
dengan fungsi penialaian di atas maka tujuan dari penilaian ha-sil belajar
adalah untuk :
a. Mendeskripsikan kecakapan
belajar para siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam
berbagai bidang studi atau mata pe-lajaran yang ditempuhnya. Dengan pendeskripsian kecakapan tersebut
da-pat diketahui pula posisi kemampuan siswa dibandingkan dengan siswa lainnya
b. Mengetahui
keberhasilan proses pendidikan dan pembelajaran disekolah, dalam aspek
intelektual, sosial, emosional, moral, dan ketrampilan yakni seberapa jauh
keefektifannya dalam mengubah tingkah laku para siswa ke arah tujuan pendidikan
yang diharapkan. Keberhasilan pendidikan dan pembelajaran penting artinya
mengingat peranannya sebagai upaya me-manusiakan atau membudayakan manusia,
dalam hal ini para siswa agar menjadi manusia yang berkualitas.
c. Menentukan tindak
lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal
program pendidikan dan pembelajaran serta strategi pelaksanaannya. Kegagalan
para siswa dalam hasil belajar yang dicapainya hendakmya tidak dipandang
sebagai kekurangan pada diri sis-wa semata-mata, tetapi juga bisa disebabkan
oleh program pembelajaran yang diberikan kepadanya atau oleh kesalahan strategi
dalam mekalsana-kan program tersebut. Misalnya kekurangtepatan dalam memilih
dan menggunakan metode mengajar dan alat bantu pembelajaran.
d. Memberikan
pertanggungjawaban (accountability)
dari pihak sekolah ke-pada pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak yang dimaksud
meliputi pemerintah, masyarakat, dan para orang tua siswa. Dalam
mempertang-gungjawabkan hasil-hasil yang telah dicapainya, sekolah memberikan
la-poran berbagai kekuatan dan kelemahan pelaksanaan sistem pendidikan serta
kendala yang dihadapinya. Laporan disampaikan kepada pihak yang berkepentingan, misalnya dinas pendidikan setempat
melalui petugas yang menanganinya. Sedangkan pertanggungjawaban kepada
masyarakat dan orang tua disampaikan melalui laporan kemajuan belajar siswa
(raport) pada setiap akhir program, semester.
4. Prinsip Penilaian Hasil Belajar
Selain tujuan dan fungsi penilaian,
guru juga harus memahami prinisp-ptinsip penilaian. Prinsip penilaian yang
dimaksud antara lain adalah sebagai berikut :
a. Penilaian hasil belajar hendaknya menjadi bagian integral dari proses pem-belajaran. Artinya setiap guru
melaksanakan proses pembelajaran ia harus melaksanakan kegiatan penilaian.
Penilaian yang dimaksud adalah penila-ian formatif. Tidak ada proses
pembelajaran tanpa penilaian. Dengan de-mikian maka kemajuan belajar siswa
dapat diketahui dan guru dapat sela-lu memperbaiki kualitas proses pembelajaran
yang dilaksanakannya.
b. Penilaian hasil
belajar hendaknya dirancang dengan jelas kemampuan apa yang harus dinilai,
materi atau isi bahan ajar yang diujikan, alat penilaian yang akan digunakan,
dan interpretasi hasil penilaian. Sebagai patokan atau rambu-rambu dalam
merancang penilaian hasil belajar adalah kuri-kulum yang berlaku terutama
tujuan dan kompetensi mata pelajaran, ru-ang lingkup isi atau bahan ajar serta
pedoman pelaksanaannya.
c. Penilaian harus
dilaksanakan secara komprehensif, artinya kemampuan yang diukurnya meliputi
aspek kognitif, afektif dan psikomotiris. Dalam aspek kognitif mencakup:
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis,
sintesis,
dan evaluasi secara proporsional.
d. Alat penilaian harus
valid dan reliabel. Valid artinya
mengukur apa yang seharusnya diukur (ketepatan). Reliabel artinya hasil yang
diperoleh dari penilaian adaalah konsisten atau ajeg (ketetapan).
e. Penilaian hasil
belajar hendaknya diikuti dengan tidak lanjutnya. Data ha-sil penilaian sangat
bermanfaat bagi guru sebagai bahan untuk menyem-purnakan program pembelajaran,
memperbaiki kelemahan-kelemahan pembelajaran, dan kegiatan bimbingan belajar pada siswa yang memerlu-kannya.
f. Penilaian hasil
belajar harus obyektif dan adil sehingga bisa mengambar-kan kemampuan siswa
yang sebenarnya.
Prinsip-prinsip
penilaian di atas dapat digunakan guru dalam merenca-nakan dan melaksanakan
penilaian hasil belajar.
B.
Jenis, Standar Penilaian,
dan Cara Penskoran
1. Jenis Penilaian
Dilihat dari fungsinya penilaian dibedakan menjadi lima jenis yaitu pe-nilaian
formatif, penilaian sumatif, penilaian diagnostik, penilaian selektif, dan
penilaian penempatan.
a. Penilaian Formatif.
Penilaian formatif adalah penilaian yang dilaksanakan guru
pada saat berlangsungnya proses pembelajaran untuk melihat tingkat keberhasilan
pro-ses belajar-mengajar itu sendiri. Dengan demikian, penilaian formatif berori-entasi kepada proses
belajar-mengajar untuk memperbaiki program pengajar-an dan strategi pelaksanaannya.
b. Penilaian Sumatif.
Penilaian sumatif adalah penilaian yang dilaksanakan
pada akhir unit program, yakni akhir caturwulan, akhir semester, dan akhir
tahun. Tujuannya adalah untuk melihat hasil yang dicapai oleh para siswa, yakni
seberapa jauh kompetensi siswa dan kompetensi mata pelajaran dikuasai oleh para
siswa. Penilaian ini berorientasi kepada produk, bukan kepada proses.
c. Penilaian Diagnostik.
Penilaian diagnostik adalah penilaian yang bertujuan
untuk melihat ke-lemahan-kelemahan siswa serta faktor penyebabnya. Penilaian
ini dilaksana-kan untuk keperluan bimbingan belajar, pengajaran remedial (remedial teaching), menemukan
kasus-kasus, dll. Soal-soalnya disusun sedemikian ru-pa agar dapat ditemukan
jenis kesulitan belajar yang dihadapi oleh para sis-wa.
d. Penilaian Selektif.
Penilaian selektif adalah penilaian yang bertujuan untuk
keperluan se-leksi, misalnya tes atau ujian saringan masuk ke sekolah tertentu.
e. Penilaian Penempatan.
Penilaian penempatan adalah penilaian yang ditujukan
untuk mengeta-hui keterampilan prasyarat yang diperlukan bagi suatu program
belajar dan penguasaan belajar seperti yang diprogramkan sebelum memulai
kegiatan be-lajar untuk program itu. Dengan perkataan lain, penilaian ini
berorientasi ke-pada kesiapan siswa untuk
menghadapi program baru dan kecocokan program belajar dengan kemampuan
siswa.
Dari segi alatnya, penilaian
hasil belajar dapat dibedakan menjadi (a) tes dan (b) bukan tes (nontes). Tes bisa
terdiri atas tes lisan (menuntut jawab-an secara lisan), tes tulisan (menuntut jawaban
secara tulisan), dan tes tindak-an (menuntut jawaban dalam bentuk perbuatan).
Soal-soal tes ada yang disu-sun dalam bentuk (a) objektif, ada juga yang disusun
dalam bentuk (b) esai atau uraian. Sedangkan bukan tes
sebagai alat penilaian mencakup observasi, kuesioner, wawancara, skala penilaian,
sosiometri, studi kasus, dll. Tes hasil belajar ada yang sudah dibakukan
(standardized test), ada pula yang dibuat guru, yakni tes yang tidak baku . Pada umumnya
penilaian hasil belajar di se-kolah menggunakan tes buatan guru untuk semua
bidang studi/mata pelajar-an. Tes baku ,
sekalipun lebih baik dari pada tes buatan guru, masih sangat langka sebab
membuat tes baku
memerlukan beberapa kali percobaan dan analisis dari segi reliabilitas dan
validitasnya. Tes sebagai alat penilaian hasil belajar ada yang mengutamakan
kecepatan (speed tests) dan ada pula
yang mengutamakan kekuatan (power test).
Tes objektif pada umumnya termasuk speed tes sebab jumlah pertanyaan cukup
banyak waktunya relatif terbatas, sedangkan tes esai termasuk power test sebab jumlah pertanyaan
sedikit wak-tunya relatif lama. Dilihat dari objek yang dinilai atau penyajian
tes ada yang bersifat individual dan ada tes yang bersifat kelompok.
2. Standar Penilaian
Selain jenis-jenis penilaian perlu juga dijelaskan mengenai
standar peni-laian yakni cara yang digunakan dalam menentukan derajat
keberhasilan hasil penilaian sehingga dapat diketahui kedudukan siswa, apakah ia
telah mengua-sai tujuan pembelajaran ataukah belum. Standar penilaian hasil
belajar pada umumnya dibedakan kedalam dua standar, yakni standar penilaian
acuan nor-ma (PAN) dan penilaian acuan patokan (PAP).
a. Penilaian
Acuan Norma (PAN)
Penilaian Acuan Norma (PAN) adalah penilaian yang menggunakan
acuan pada rata-rata kelompok. Dengan demikian dapat diketahui posisi ke-mampuan
siswa dalam kelompoknya. Untuk
itu norma atau kriteria yang di-gunakan dalam menentukan derajat prestasi
seorang siswa selalu dibanding-kan dengan nilai rata-rata kelasnya. Atas dasar
itu akan diperoleh tiga katego-ri prestasi siswa, yakni prestai siswa di atas
rata-rata kelas, berkisar pada rata-rata kelas, dan prestasi siswa yang berada
di bawah rata-rata kelas. Dengan kata lain, prestasi yang dicapai seseorang
posisinya sangat bergantung pada prestasi kelompoknya.
Keuntungan standar ini adalah
dapat diketahui prestasi kelompok atau kelas sekaligus dapat diketahui
keberhasilan pembelajaran bagi semua siswa. Kelemahannya
adalah kurang meningkatkan kualitas hasil belajar. Jika nilai rata-rata
kelompok atau kelasnya rendah, misalnya skor 40 dari seratus, maka siswa yang
memperoleh nilai 45 (di atas rata-rata) sudah dikatakan baik, atau dinyatakan
lulus, sebab berada di atas rata-rata kelas, padahal skor 45 dari maksimum skor 100 termasuk rendah. Kelemahan yang
lain ialah kurang prak-tis sebab harus dihitung dahulu nilai rata-rata
kelas, apalagi jika jumlah siswa cukup banyak. Sistem ini kurang menggambarkan
tercapainya tujuan pembe-lajaran sehingga
tidak dapat dijadikan ukuran dalam menilai keberhasilan mu-tu
pendidikan. Demikian juga kriteria keberhasilan tidak tetap dan tidak pasti,
bergantung pada rata-rata kelas, makanya standar penilaian ini disebut stán-dar
relatif. Dalam konteks yang lebih luas penggunaan standar penilaian ini tidak
dapat digunakan untuk menarik generalisasi prestasi siswa sebab rata-rata
kelompok untuk kelas yang satu berbeda dengan kelas yang lain, sekolah yang
satu akan berbeda dengan sekolah yang lain. Standar penilaian acuan norma tepat
jika digunakan untuk penilaian formatif.
b. Penilaian Acuan Patokan (PAP)
Penilaian Acuan Patokan (PAP) adalah penilaian yang menggunakan
acuan pada tujuan pembelajaran atau kompetensi yang harus dikuasai siswa. Derajat keberhasilan siswa dibandingkan dengan
tujuan atau kompetensi yang seharusnya dicapai atau dikuasai siswa bukan
dibandingkan dengan prestasi kelompoknya. Dalam penilaian ini ditetapkan
kriteria minimal harus dicapai atau dikuasai siswa. Kriteria minimal yang biasa
digunakan adalah 80% dari tujuan atau kompetensi yang seharusnya dikuasai
siswa. Makin tinggi kriteri-anya
makin baik mutu pendidikan yang dihasilkan. Standar penilaian acuan patokan
berbasis pada konsep belajar tuntas atau mastery
learning. Artinya setiap siswa harus mencapai ketuntasan belajar yang
diindikasikan oleh pe-nguasaan materi ajar minimal mencapai kriteria yang telah
ditetapkan. Jika siswa belum mencapai kriteria tersebut siswa belum dinyatakan
berhasil dan harus menempuh ujian kembali. Karena itu penilaian acuan patokan
sering disebut stándar mutlak. Dalam sistem ini guru tidak perlu menghitung
nilai rata-rata kelas sebab prestasi siswa
tidak dibandingkan dengan prestasi kelom-poknya. Melalui sistem
penilaian acuan patokan sudah dapat dipastikan pres-tasi belajar siswa secara
bertahap akan lebih baik sebab setiap siswa harus mencapai kriteria minimal
yang telah ditentukan. Namun sistem ini menuntut guru bekerja lebih keras sebab setiap guru harus menyediakan
remedial bagi siswa yang belum memenuhi stándar yang telah ditentukan.
Sistem penilaian ini tepat digunakan baik untuk penilaian formatif maupun
penilaian sumatif.
3. Cara Penskoran
Terkait dengan sistem
penilaian perlu juga diketahui tentang cara mem-berikan skor/nilai atau sistem
pembijian yakni cara pemberian angka dalam menilai hasil belajar siswa. Dalam
sistem pembijian atau cara memberikan nilai dapat digunakan beberapa cara. Cara pertama menggunakan sistem hu-ruf,
yakni A, B, C, D, dan E (gagal). Biasanya ukuran yang digunakan adalah A paling
tinggi, paling baik, atau sempurna; B baik; C sedang atau cukup; dan D kurang; dan E gagal. Cara kedua ialah dengan
sistem angka yang meng-gunakan beberapa skala. Pada skala empat, angka 4
setara dengan A, angka 3 setara dengan B, angka 2 setara dengan C, dan angka 1
setara dengan D. Ada juga skala sepuluh, yakni menggunakan rentangan angka dari
1-10. Selain itu ada juga
yang menggunakan rentangan 1-100. Berdasarkan kenyataan yang terjadi selama ini
di SD dan SMP, skala yang dipakai adalah skala sepuluh (1-10) dan skala 100
(1-100).
C. Ranah
Penilaian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah
kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa sete-lah
ia menerima pengalaman belajarnya. Horward Kingsley membagi tiga ma-cam
hasil belajar, yakni: (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan
pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil belajar dapat di-isi dengan bahan yang telah ditetapkan
dalam kurikulum. Sedangkan Gagne membagi lima kategori belajar, yakni:
(a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) startegi kognitif, (d)
sikap, dan (e) keterampilan motoris.
Dalam sistem pendidikan nasional
rumusan hasil belajar banyak meng-gunakan klasifikasi hasil belajar dari
Benyamin Bloom yang secara garis be-sar membaginya menjadi tiga ranah, yakni
ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar
intelektu-al yang terdiri dari enam aspek yakni pengetahuan atau ingatan,
pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Aspek pertama, kedua dan
ketiga ter-masuk kognitif tingkat rendah, sedangkan aspek keempat, kelima dan
keenam termasuk kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap
yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian,
or-ganisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil bela-jar
keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomo-toris, yakni:
(a) gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar, (c) kemam-puan perseptual,
(d) keharmonisan atau ketetapan, (e) gerakan keterampilan kompleks, dan (f)
gerakan ekspresif dan interpretatif. Ketiga ranah
tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara ketiga ranah itu,
ranah kogni-tiflah yang paling banyak dinilai para guru di sekolah karena
berkaitan de-ngan kemampuan para siswa dalam menguasai bahan pengajaran.
1. Ranah Kognitif
a.
Tipe Hasil Belajar Pengetahuan
Istilah
pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowledge dalam taksonomi Bloom. Sekalipun
demikian, maknanya tidak sepenuhnya tepat sebab dalam istilah tersebut termasuk
pula pengetahuan faktual disam-ping pengetahuan hafalan atau untuk diingat
seperti rumus, batasan, definisi, istilah, pasal dalam undang-undang, nama-nama
tokoh, nama-nama kota
dll. Dilihat dari segi proses belajar, istilah-istilah tersebut memang perlu
dihafal dan diingat agar dapat dikuasainya sebagai dasar bagi pengetahuan atau
pe-mahaman konsep-konsep lainnya. Ada
beberapa cara untuk dapat mengingat dan menyimpannya dalam ingatan seperti
teknik memo, jembatan keledai, mengurutkan kejadian, membuat singkatan yang
bermakna. Tipe hasil belajar pengetahuan termasuk kognitif tingkat rendah yang
paling rendah. Namun, tipe hasil belajar ini menjadi prasarat bagi tipe hasil
belajar berikutnya. Hafal-an menjadi prasarat bagi pemahaman. Hal ini berlaku
bagi semua bidang il-mu, baik matematika, pengetahuan alam, ilmu sosial, maupun
bahasa. Misal-nya hafal suatu rumus akan menyebabkan paham bagaimana
menggunakan rumus tersebut; hafal kata-kata akan memudahkan membuat kalimat.
b. Tipe Hasil Belajar Pemahaman
Tipe hasil balajar yang lebih tinggi dari pada
pengetahuan adalah pema-haman. Misalnya menjelaskan susunan kelimat dengan
bahasa sendiri, mem-beri contoh lain dari yang telah dicontohkan, menggunakan
petunjuk penera-pan pada kasus lain. Dalam taksonomi Bloom, kesanggupan
memahami se-tingkat lebih tinggi dari pada
pengetahuan. Namun, tidaklah berarti bahwa pe-ngetahuan tidak perlu
ditanyakan sebab, untuk dapat memahami, perlu terle-bih dahulu mengetahui atau mengenal. Pemahaman dapat dibedakan ke dalam
tiga kategori.Tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan, mulai dari ter-jemahan
dalam arti yang sebenarnya, misalnya dari bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia, pemahaman mengartikan Bhineka Tunggal Ika, mengarti-kan merah putih,
menerapkan prinsip-prinsip listrik dalam memasang saklar dll yang sejenis. Tingkat
kedua adalah pemahaman penafsiran, yakni meng-hubungkan bagian-bagian terdahulu
dengan yang diketahui berikutnya, atau menghubungkan beberapa bagian dari grafik
dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan yang bukan pokok, menghubungkan pengetahuan
tentang konjungsi kata kerja, subjek, dan possesive
sehingga tahu menyusun kalimat. Pemahaman tingkat ketiga atau tingkat tertinggi
adalah pemahaman ekstrapo-lasi. Dengan ekstrapolasi diharapkan seseorang mampu
melihat di balik yang tertulis, dapat membuat ramalan tentang konsekuensi dari
suatu kejadian, da-pat memperluas presepsi dalam arti waktu, dimensi, kasus,
ataupun masalah-nya. Meskipun pemahaman dapat dipilahkan menjadi tiga tingkatan
di atas, perlu disadari bahwa menarik garis yang tegas antara ketiganya
tidaklah mu-dah. Penyusun tes dapat membedakan soal yang susunannya termasuk
sub-kategori tersebut, tetapi tidak perlu berlarut-larut mempersalahkan ketiga
per-bedaan itu. Sejauh dengan mudah dapat
dibedakan antara pemahaman terjemah-an, pemanfsiran, dan ekstrapolasi,
bedakanlah untuk kepentingan penyususu-nan soal tes hasil belajar.
c. Tipe Hasil Belajar Aplikasi
Aplikasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi
kongkret atau situasi
khusus. Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori, rumus, hukum,
prinsip, generalisasi dan pedoman atau petunjuk teknis. Menerapkan abstraksi ke
da-lam situasi baru disebut aplikasi. Aplikasi yang berulangkali dilakukan pada
situasi lama akan beralih menjadi pengetahuan hafalan atau keterampilan. Su-atu situasi akan tetap dilihat sebagai
situasi baru bila terjadi proses pemecah-an masalah.. Situasi
bersifat lokal dan mungkin pula subjektif sehingga tidak mustahil bahwa sesuatu
itu baru bagi banyak orang, tetapi sesuatu yang sudah dikenal bagi beberapa
orang tertentu. Mengetengahkan problem baru hendak-nya lebih didasarkan atas
realitas yang ada di masyarakat atau realitas yang ada di dalam kehidupan siswa
sehari-hari.
d. Tipe Hasil Belajar
Analisis
Analisis adalah usaha memilah suatu integritas menjadi
unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga jelas hierarkinya dan susunannya. Analisis me-rupakan suatu kecakapan
yang kompleks, yang memanfaatkan kecakapan dari ketiga tipe hasil belajar sebelumnya.
Dengan kemampuan analisis diharapkan siswa mempunyai pemahaman yang
komprehensif tentang sesuatu dan dapat memilah atau memecahnya menjadi bagian-bagian
yang terpadu baik dalam hal prosesnya, cara bekerjanya, maupun dalam hal sistematikanya.
Bila keca-kapan analisis telah dikuasai siswa maka siswa akan dapat
mengaplikasikan-nya pada situasi baru secara kreatif.
e. Tipe
Hasil Belajar Sintesis
Penyatuan unsur-unsur atau
bagian-bagian kedalam bentuk menyeluruh disebut sintesis. Berpikir berdasar
pengetahuan hafalan, berpikir pemahaman, berpikir aplikasi, dan berpikir
analisis dapat dipandang sebagai berpikir kon-vergen yang satu tingkat lebih
rendah daipada berpikir devergen. Dalam ver-pikir konvergen, pemecahan masalah
atau jawabannya akan mudah diketahui berdasarkan yang sudah dikenalnya. Berpikir
sintesis adalah berpikir diver-gen. Dalam berpikir divergen pemecahan masalah atau
jawabannya belum dapat dipastikan. Mensintesiskan unit-unit tersebar tidak sama
dengan me-ngumpulkannya kedalam satu kelompok besar. Kalau analisis memecah
inte-gritas menjadi bagian-bagian, sebaliknya sintesis adalah menyatukan
unsur-unsur menjadi suatu integritas yang mempunyai arti. Berpikir sintesis
meru-pakan sarana untuk dapat mengembangkan berpikir kreatif. Seseorang yan
kreatif sering menemukan atau menciptakan sesuatu. Kreatifitas juga berope-rasi
dengan cara berpikir divergen. Dengan kemampuan sintesis, siswa di-mungkinkan
untuk menemukan hubungan kausal, urutan tertentu, astraksi da-ri suatu fenomena
dll.
f. Tipe Hasil Belajar Evaluasi
Evaluasi adalah pemberian
keputusan tentang nilai sesuatu yang mung-kin dilihat dari tujuan, gagasan,
cara bekerja, pemecahan, metode, materi, dll. Oleh karena itu maka dalam
evaluasi perlu adanya suatu kriteria atau stándar tertentu. Dalam tes esai, stándar
atau kriteria tersebut muncul dalam bentuk frase ”menurut pendapat saudara”
atau “menurut teori tertentu”. Frase yang pertama sukar diuji mutunya,
setidak-tidaknya sukar diperbandingkan sebab variasi kriterianya sangat luas.
Frase yang kedua lebih jelas standarnya. Un-tuk mengetahui tingkat kemampuan siswa
dalam evaluasi, maka soal-soal yang dibuat harus menyebutkan kriterianya secara
eksplisit. Mengembangkan kemampuan evaluasi penting bagi kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Kemampuan evaluasi memerlukan kemampuan dalam
pemahaman, aplikasi, analisis, dan sintesis. Artinya tipe hasil belajar
evaluasi mensaratkan dikua-sainya tipe hasil belajar sebelumnya.
2. Ranah
Afektif
Ranah afektif berkenaan dengan
sikap dan nilai. Beberapa ahli mengata-kan bahwa sikap seseorang dapat
diramalkan perubahannya, bila seseorang telah
memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi. Penilaian hasil belajar afek-tif
kurang mendapat perhatian dari guru. Dalam menilai hasil belajar siswa para
guru lebih banyak mengukur siswa dalam penguasaan aspek kognitif. Tipe hasil
belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku se-perti
perhatiannya terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai guru
dan teman sekelas, kebiasaan belajar, dan hubungan sosial. Sekalipun bahan
pengajaran berisi ranah kognitif, ranah efektif harus menjadi bagian integral
dari bahan tsb dan harus tampak dalam proses belajar dan hasil bela-jar yang
dicapai oleh siswa. Hasil
belajar ranah efektif terdiri atas lima kate-gori sebagai berikut:
a. Reciving/attending, yakni kepekaan dalam menerima rangsangan (stimu-lasi)
dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala,
dll. Dalam tipe ini termasuk
kesadaran, untuk menerima stimulus, keinginan untuk melakukan kontrol dan
seleksi terhadap rangsangan dari luar.
b. Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan oleh
seseorang ter-hadap stimulasi yang datang dari luar. Hal ini mencakup ketetapan
reaksi, kedalaman perasaan, kepuasan merespon, tanggung jawab dalam membe-rikan
respon terhadap stimulus dari luar yang datang pada dirinya.
c. Valuing berkenaan dengan nilai atau kepercayaan terhadap gejala atau sti-mulus
yang diterimanya. Dalam hal ini termasuk kesediaan menerima ni-lai, latar belakang
atau pengalaman untuk menerima nilai dan kesepakat-an terhadap nilai tersebut.
d. Organisasi, yakni
pengembangan dari nilai ke dalam satu sistem organisa-si, termasuk hubungan
satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan priori-tas nilai yang telah dimilikinya.
e. Internalisasi nilai,
yakni keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimi-liki seseorang yang
mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.
3. Ranah Psikomotis
Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk keterampilan (skill) dan
kemampuan bertindak. Ada enam tingkatan
keterampilan, yakni:
a. Gerak refleks (keterampilan
pada gerakan yang tidak sadar).
b. Keterampilan pada
gerakan dasar.
c. Kemampuan perseptual, termasuk di dalamnya membedakan visual, mem-bedakan auditif, motoris, dan
lain-lain.
d. Kemampuan di
bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan dan kete-patan.
e. Gerak-gerak skill,
mulai dari keterampilan sederhana sampai pada kete-rampilan yang kompleks.
f. Kemampuan yang
berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan
interpreatif.
Hasil belajar yang
dikemukakan di atas sebenarnya tidak berdiri sendiri, tetapi selalu berhubungan
satu sama lain, bahkan ada dalam kebersamaan. Se-seorang yang berubah tingkat kognisinya
sebenarnya dalam kadar tertentu te-lah berubah pula sikap dan perilakunya.
D. Alat
Penilaian Hasil Belajar
Uraian di bawah ini
menjelaskan secara khusus alat penilaian hasil bela-jar, yakni tes, baik tes
uraian (esai) maupun tes objektif. Tes sebagai alat pe-nilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk
men-dapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam
bentuk tulisan (tes tulisan) atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan). Tes pada umumnya digunakan untuk
menilai dan mengukur hasil belajar ranah kognitif dalam hal penguasaan bahan
ajar sesuai dengan kurikulumnya. Sungguhpun demikian dalam batas tertentu tes
dapat pula digunakan untuk mengukur hasil belajar ranah afektif dan psikomotoris.
Ada dua jenis
tes yang akan dibahas yakni tes uraian atau tes esai dan tes objektif. Tes uraian terdiri dari uraian bebas, urai-an
terbatas dan uraian berstruktur. Sedangkan tes objektif terdiri dari bebera-pa
bentuk, yaitu bentuk pilihan benar-salah, pilihan berganda dengan berba-gai
variasinya, menjodohkan dan bentuk isian pendek atau melengkapi.
1.
Tes Uraian
Tes uraian, yang dalam
literatur disebut juga essay examination, meru-pakan alat penilaian hasil
belajar yang paling tua. Secara umum tes uraian ini adalah pertanyaan yang
menuntut siswa menjawabnya dalam bentuk mengu-raikan, menjelaskan,
mendiskusikan, membandingkan, memberikan alasan dan bentuk lain yang sejenis sesuai dengan tuntutan pertanyaan dengan
meng-gunakan kata-kata dan bahasa sendiri. Dengan demikian, dalam tes
ini ditun-tut kemampuan siswa dalam hal mengekspresikan gagasan melalui bahasa
tu-lisan. Disinilah kakuatan
atau kelebihan tes esai dari alat penilaian lainnya. Sungguhpun demikian, sejak
tahun 1960-an bentuk tes ini banyak ditinggal-kan orang karena munculnya bentuk
tes objektif. Bahkan sampai saat ini tes objektif sangat populer dan digunakan
oleh hampir semua guru mulai tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Ada
semacam kecenderungan di ka-langan para pendidik dan guru untuk menggunakan tes
uraian sebagai alat pe-nilaian hasil belajar disebabkan oleh beberapa hal
antara lain ialah (a) adanya gejala menurunnya
hasil belajar yang salah satu diantaranya berkenaan dengan penggunaan
tes objektif, (b) lemahnya para siswa dalam menyatakan gagasan sebagai akibat
penggunaan tes objektif yang berlebihan, (c) kurangnya daya analisis siswa
karena terbiasa dengan tes objektif yang memungkinkan mere-ka main tebak
jawaban manakala menghadapi kesulitan dalam menjawabnya. Kondisi seperti ini
menyebabkan adanya keinginan untuk menggunakan kem-bali tes uraian. Harus diakui
bahwa tes uraian dalam banyak hal mempunyai kelebihan daripada tes objektif
terutama dalam hal meningkatkan kemampu-an menalar para siswa. Hal ini disebabkan
karena melalui tes uraian dapat mengungkapkan aspek kognitif tingkat tinggi
seperti analisis-sintesis-evalua-si, baik secara lisan maupun tulisan. Siswa
juga dibiasakan sengan kemampu-an memecahkan masalah (problem solving), mencoba
merumuskan hipotesis, menyusun dan mengekspresikan gagasannya dan menarik
kesimpualan dari pemecahan masalah.
Agar diperoleh soal-soal
bentuk uraian yang dikatakan memadai seba-gai alat penilaian hasil belajar,
hendaknya diperhatikan hal-hal sebagai beri-kut:
a.
Dari Segi Isi yang Diukur
Segi yang akan diukur hendaknya
ditentukan secara jelas abilitasnya, misalnya pemahaman konsep, aplikasi suatu
konsep, analisis suatu permasa-lahan, dan aspek kognitif lainnya dengan
kejelasan apa yang akan diungkap-kan maka soal atau pertanyaan yang dibuat hendaknya
mengungkapkan ke-mampuan siswa dalam abilitas tersebut. Setelah abilitas yang
hendak diukur cukup jelas tetapkan materi yang ditanyakan. Dalam memilih materi
sesuai dengan kurikulum atau silabusnya, pilihlah materi yang esensial yakni
materi yang menjadi inti persoalan dan menjadi dasar untuk penguasaan materi
lain-nya. Dengan perkataan lain, bila konsep esensial dikuasai, maka secara
kese-luruhan siswa akan mengetahui aspek-aspek yang berkenaan dengan konsep
tersebut. Aturlah penyajian pertanyaan secara berurutan mulai dari yang mu-dah
menuju kepada yang lebih sulit, atau dari yang sederhana menuju kepada yang
lebih kompleks.
b.
Dari Segi Bahasa
Gunakan bahasa yang baik dan
benar sehingga mudah diketahui makna
yang terkandung dalam rumusan pertanyaan.
Bahasanya sederhana, singkat tetapi jelas apa yang ditanyakan. Hindari bahasa
yang berbelit-belit, membi-ngungkan atau mengecoh siswa.
c.
Dari Segi Teknis Penyajian
Soal
Hendaknya jangan
mengulang-ulang pertanyaan terhadap materi yang sama sekalipun untuk abilitas yang berbeda sehingga soal atau pertanyaan
yang diajukan lebih komprehensif
daripada segi lingkup materinya. Perhatikan wak-tu yang tersedia untuk
mengerjakan soal tersebut sehingga soal tidak terlalu banyak atau terlalu
sedikit. Bobot penilaian untuk setiap soal hendaknya di-bedakan menurut tingkat kesulitan soal. Soal-soal yang sulit diberi
bobot yang lebih besar, Tingkat kesulitan soal bisa dilihat dari sifat
materinya, abilitas yang akan diukurnya. Abilitas analisis lebih sulit daripada aplikasi dan pema-haman, sintesis
lebih sulit daripada analisis. Sedangkan dari aspek materi, konsep lebih sulit daripada fakta.
d.
Dari Segi Jawaban
Setiap pertanyaan yang hendak
diajukan sebaiknya telah ditentukan ja-waban yang diharapkan, minimal
pokok-pokoknya. Tentukan pula besarnya skor maksimal untuk setiap soal yang
dijawab benar dan skor minimal bila jawaban dianggap salah atau kurang memadai.
Jangan sekali-kali mengaju-kan pertanyaan yang jawabannya belum pasti atau guru
sendiri tidak tahu ja-wabannya, atau mengharapkan kebenaran jawaban tersebut
diperoleh dari sis-wa.
Skoring bisa digunakan dalam
berbagai bentuk, misalnya sakala 1-4
atau 1-10, bahkan bisa juga skala 1-100. Namun,
yang paling umun diguna-kan adalah 1-10. Dengan demikian, guru tidak memberi
angka nol terhadap jawaban yang salah. Gunakan sistem bobot dalam memberikan
nilai terhadap jawaban untuk setiap nomor. Bobot nilai bisa menggunakan skala
1-10 misal-nya untuk soal kategori mudah diberi bobot dua, soal kategori cukup
diberi bobot tiga, dan soal kategori sulit diberi bobot lima sehinggan jumlah
bobot itu 10. Contoh : diberikan 5 soal uraian. Nomor 1 soal kategori mudah,
nomor 2,3 dan 4 soal kategori sedang dan 5 soal kategori sulit. Misalkan hasil
peme-riksaan jawaban siswa diperoleh data sebagai berikut :
Ali memperoleh
skor sebagai berikut :
Nomor soal
|
Nilai yang diperoleh
|
Bobot Nilai
|
Total Nilai
|
1
2
3
4
5
|
4
3
3
4
2
|
2
3
3
3
5
|
8
9
9
12
10
|
Σ 16
|
Σ 48
|
Nilai rata-rata sebelum diberi
bobot adalah 16/5 = 3,2. Nilai rata-rata se-telah diberi bobot adalah 48/16 =
3,0. Rendahnya nilai Ali setelah dibobot ka-rena jawaban Ali terhadap soal
nomor 5 yang termasuk soal sulit adalah ren-dah. Ali hanya menjawab benar pada soal yang termasuk
mudah.
2.
Tes Objektif
Soal-soal bentuk objektif banyak
digunakan guru dalam menilai hasil belajar. Hal ini disebabkkan tes obyektif
bisa mencakup bahan pelajaran yang lebih banyak dan mudahnya memeriksa jawaban siswa..Soal-soal
tes objektif dikenal ada beberapa bentuk, yakni jawaban singkat, benar-salah,
menjodoh-kan, dan pilihan berganda. Kecuali bentuk jawaban singkat dan bentuik
benar salah, soal-soal bentuk objektif telah tersedia kemungkinan jawabannya
dan siswa tinggal memilih salah satu kemungkinan yang paling tepat.
a.
Bentuk Soal Jawaban Singkat
Bentuk soal jawaban singkat
merupakan soal yang menghendaki jawab-an
dalam bentuk kata, bilangan, kalimat atau simbol dan jawbannya hanya da-pat
dinilai benar atau salah. Ada dua bentuk soal jawaban singkat, yaitu ben-tuk
pertanyaan langsung dan bentuk pertanyaan tidak lengkap.
Contoh :
-
Berpakah luas daerah segitiga yang panjang alasnya
8 cm dan tingginya 6 cm?
-
Luas daerah segitiga yang panjang alasnya 8 cm dan
tingginya 6 cm ada-lah ...
Bentuk soal jawaban singkat
cocok untuk mengukur pengetahuan yang berhubungan dengan istilah, fakta,
prinsip, metode, prosedur dan penafsiran data sederhana. Kaidah penulisan soal
bentuk jawaban singkat antara lain (a) jangan
megambil pernyataan langsung dari buku, (b) pernyataan hanya megan-dung
satu jawaban yang dapat diterima, dan (c) jawaban harus singkat dan jangan sampai
lebih panjang dari pertanyaannya.
b.
Bentuk Soal Benar-Salah
Bentuk soal benar salah adalah
bentuk soal-soalnya berupa pernyataan. Sebagian dari pernyataan itu merupakan
pernyataan yang benar dan sebagian lagi pernyataan yang salah. Pada umumnya
bentuk soal benar-salah dapat di-pakai untuk mengukur pengetahuan siswa tentang
fakta, definisi dan prinsip.
Contoh :
1) B – S Danau Toba di Sumatera Utara dari segi
pembentukannya merupa-kan danau tektonik.
2) B – S Perpindahan penduduk dari desa ke kota
disebut transmigrasi.
Kaidah penulisan bentuk benar salah adalah sebagai berikut:
1) Hindari pernyataan
yang mengadung kata kadang-kadang, selalu sering kali dan yang sejenisnya.
2) Hindari pengamblan
kalimat langsung dari buku pelajaran.
3) Hindari pernyataan
negatif.
4) Usahakan agar kalimat
untuk setiap soal tidak terlalu panjang.
5) Hindari pernyataan
yang masih diperdebatkan kebenarannya.
c.
Bentuk Soal Menjodohkan
Bentuk soal menjodohkan
terdiri atas sub kelompok pernyataan yang pararel. Kedua kelompok pernyataan
ini berada dalam satu kesatuan. Kelom-pok sebelah kiri merupakan bagian yang
berisi soal dan kelompok sebelah kanan berisi jawabannya. Jumlah jawaban dibuat
lebih banyak dari jumlah soal.
Contoh:
Kelompok A Kelompok
B
1. kekurangan
Vitamin C a. penyakit rabun ayam
2. kekurangan
vitamin B kompleks b. seriawan
3. kekurangan
vitamin B1 c. penyakit gondok
4. kekurangan
vitamin A d. penyakit rakhitis
5. kekurangan
vitamin D e. penyakit beri-beri
f. pertumbuhan badan lambat
Kaidah menulis soal bentuk menjodohkan
adalah sebagai berikut:
1) Materi yang
ditanyakan berasal dari hal yang sama atau homogen.
2) Pertanyaan dan
jawaban mudah dupahami.
3) Jumlah jawaban
minimal satu lebih banyak dari jumlah pertanyaan.
4) Susunlah soal dan
jawaban pada halaman yang sama.
5) Terdapat hubungan
logis antara soal dengan jawaban.
d.
Bentuk Soal Pilihan Berganda
Soal pilihan ganda adalah
bentuk soal yang terdiri atas pertanyaan di-sertai sejumlah kemungkinan
jawabannya yang harus dipilih salah satu yang paling benar atau paling tepat.
Oleh sebab itu soal pilihan berganda terdiri atas beberapa aspek yakni: stemp,
option, kunci dan distractor/pengecoh.
- stemp; yakni pertanyaan yang
berisi permasalahan yang akan ditanyakan.
- option; yakni sejumlah alternatif
jawaban yang harus dipilih
- kunci; yakni jawaban yang paling
benar atau paling tepat
- distractor;
yakni jawaban-jawaban lain selain kunci jawaban (jawaban pe-ngecoh)
Contoh soal bentuk pilihan berganda adalah
sebagai berikut:
Mahkamah Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa
berkedudukan di kota
........
(stem)
a. Jenewa
b. Denhaag (a
adalah kunci)
c. London (a-b-c-d adalah option)
d. New York (b-c-d adalah pengecoh)
Kaidah penulisan soal bentuk
pilihan berganda adalah sebagai berikut:
1) Pokok soal atau stemp
harus dirumuskan secara jelas sehingga mudah di-pahami maknanya oleh siswa.
2) Hindari
perbyataan negatif pada pokok soal atau stemp
3) Usahakan option atau
kemungkinan jawaban bersifat homogeen atau se-jenis.
4) Di antara
option harus ada satu jawaban yang benar atau tepat.
5) Pengecoh harus
berfungsi bukan asal ada.
6) Hindari adanya
semacam petunjuk terhadap jawaban yang benar.
7) Apabila option
berbentuk angka susunlah mulai dari angka terkecil.
Setiap
bentuk soal obyektif tes selalu diawali dengan petunjuk pengerja-an soal dan
petunjuk tersebutharus harus jelas agar siswa tidak salah menja-wabnya. Bentuk
soal sawaban singkat petunjuknya adalah; isilah dengan kata yang tepat. Bentuk
soal benar salah petunjuknya adalah; pilih dengan cara memberi silang huruf B
jika pernyataan itu benar dan huruf S bila pernyataan itu salah. Bentuk
menjodohkan petunjuknya adalah; pasangkan huruf yang ada pada sebelah kiri
dengan huruf yang ada pada sebelah kanan yang menu-rut kamus paling benar.
Bentuk pilihan berganda petunjuknya adalah; pilih salah satu huruf yang menurut
kamu paling tepat sebagai jawabannya.
Dalam kaitannya
dengan penyusunan alat penilaian ada beberapa lang-kah yang harus ditempuh,
yakni:
1. Menelaah kurikulum
dan buku pelajaran agar dapat ditentukan lingkup pertanyaan, terutama materi pelajaran, baik luasnya maupun kedalamanya.
2. Merumuskan tujuan dan
indikator keberhasilan belajar agar mudah dalam menentukan materi yang akan
diujikan.
3. Membuat kisi-kisi atau blueprint alat
penilaian. Dalam kisi-kisi harus tam-pak abilitas atau kemampuan yang akan
diukur, lingkup materi/bahan yang akan diujikan, tingkat kesulitan soal,
jenis alat penilaian yang digunakan, jumlah soal/pertanyaan,dan perkiraan waktu
yang diperlukan untuk me-ngerjakan soal/pertanyaan tersebut.
4. Menulis
soal-soal/pertanyaan berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat. Da-lam penulisan
soal, perhatikan aturan penulisan soal sebagai alat penilaian
hasil
belajar.
5. Membuat kunci jawaban
soal agar pemeriksa mempunyai pemahaman dan kriteria yang sama atas jawaban
yang diberikan siswa.
Sungguhpun demikian tes hasil belajar tidak mungkin dapat mengung-kapkan
semua materi yang ada dalam kurikulum, sekalipun hanya untuk satu semester.
Oleh sebab itu, harus diambil sebagian dari materi dalam bentuk sampel tes. Sampel tes harus dapat mencerminkan materi
yang terkandung dalam kurikulum. Cara yang ditempuh dalam menetapkan sampel tes
adalah memilih konsep-konsep materi yang esensial. Misalnya menetapkan sejumlah
konsep yang terdapat pada setiap pokok bahasan. Setiap konsep yang dipilih
kemudian dikembangkan beberapa pertanyaan tes. Di sinilah pentingnya pe-ranan kisi-kisi
penyusunan alat penilaian.
DAFTAR PUSTAKA
Nana Sudjana. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nana Sudjana, R. Ibrahim. 2000.
Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Ban-dung:
Sinar Baru.
1 Kommentare:
Terima kasih untuk blog yang menarik
Silahkan berkomentar yang baik dan Jangan Spam !